Sunday, November 29, 2009

Refleksi Perjalanan


Aku adalah bagian dari komunitas, dan komunitas adalah bagian dari hidupku. Tanpa komunitas mungkin aku bukanlah aku yang saat ini—begitu juga tanpa aku, komunitas akan kehilangan keragamanya, walaupun pada titik nadzirnya keberadaanku hanya titik dalam ribuan paragraf tulisan. Tapi aku yakin “aku dapat mencintai komunitas, sebagaimana aku mencintai diriku sendiri”.

Sebagaiamana saat-saat kita kehilangan seseorang, tentu sakit rasanya bukan? Apalagi jika kita ditinggalkan oleh skala komunitas yang terdiri dari ragam dan sifat individu. Perpisahan kadang lebih berat daripada pertemuan, apalagi soal hak dan kewajiban. Jika hak boleh dipinta, kenapa tidak kewajiban dahulu yang ditunaikan.


Bagiku, indahnya kebersamaan adalah saat-saat kita ikhlas menjalani setiap peristiwa dalam suka maupun duka. Tertawa, menangis, melangkah, berlari, saling mengingatkan, beban, riang, sepi, ramai,... kita alami bersama, hingga akhirnya mengguratkan kepuasan dan tak lama kemudian menjadi buah kebahgiaan, lalu kita sadar, menganggap semua adalah bumbu-bumbu kehidupan.

Perbedaan adalah anugrah, tapi tak jarang juga malah menjadi sumber friksi dan perpecahan, tentunya bila kita kurang peduli, kurang pandai menyadari bahwa perbedaan itu adalah kekayaan, lantas malah lelah terkecoh oleh perbedaan sendiri. Jika demikian perbedaan malah akan berlari, berputar-putar bak bola salju, tak jarang membuat gaduh lalu hancur berantakan saat menghantam pepohonan atau masuk jurang sekalian. Kenapa tidak dihias, dibuat dua bulatan, yang satu besar lainya kecil lalu ditumpuk seperti boneka Natal di daratan Eropa saat musim salju tiba, Indah bukan?! Lantas, selagi masih banyak persamaan kenapa perbedaan harus selalu ditonjolkan.

Sekali lagi aku tegaskan, aku adalah bagian dari komunitas dan begitupula sebaliknya. Maka dari pernyataan itu akupun dengan bangga meyakinkan bahwa aku adalah bagian dari KPMJB. Dari dulu hingga saat ini aku menganggap bahwa komunitasku ini merupakan komunitas yang cukup kaya. Kaya dengan anggota, kaya dengan sifat, budaya, seni, bahkan suku dan bahasa yang jarang kita temui di komunitas serupa semacam KPMJB. Jangan ditanya soal kaya harta, jatah temusnya saja mencapai 11 orang, “menurutku saat itu...”

Aku yang dilahirkan di Tasikmalaya kemudian pindah merantau ikut keluarga ke kota Tauco, Cianjur. Tak lama kemudian mondok di Garut beberapa tahun lamanya. Setinggalnya di Cianjur, tak jarang kami pergi wisata ke Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Bandung, Purwakarta, Bogor bahkan Bekasi. Sayangnya ayahku tak sempat membawaku pergi ke Ibukota Jakarta atau ke Banten memperkenalkanku dengan komunitas suku Betawi atau suku Baduy di pedalaman Banten sana. Walaupun akhirnya sempat juga menghirup udara ibu kota saat tugas KKN dahulu.

Saat tinggal di Tasikmalaya, kami sering pergi wisata ke Ciamis, Pangandaran tepatnya. Bahkan hampir tiap tahun kami wisata ke Cirebon. Mengunjungi situs-situs sejarah, ziarah makam Sunan Gunung Jati, Mesjid Agung, musium-musium pahlawan dan berbagai tempat lainya. Sebagaiaman terdapat dalam buku sejarah bahwa Islam di Jawa Barat bersumber dari kota ini. Selanjutnya, untuk melepas penat, kamipun selalu menyempatkan mampir ke taman Ade Irma menikmati indahnya taman di pesisir pantai dekat pelabuhan, terletak diantara laut dan pinggir kota Udang itu.

Di Cirebonlah pertama kali keluargaku memperkenalkan aku dengan komunitas baru, terlebih bahasa dan budayanya. Mereka adalah komunitas Jawa—Jawa Barat. Walaupun berbeda bahasa, mereka sangat akrab duduk bareng dengan tamu-tamu, dan satu-satunya cara kami mejalin komunikasi dengan mereka yaitu dengan bahasa, ya...dengan bahasa Indonesia. Di tengah perjalanan itu, seolah-olah keluargaku sedang berpesan kepadaku yang masih udik saat itu, jangan sampai kamu melupakan sejarah! persis seorang Sukarno berpesan kepada rakyatnya “jangan lupakan jas merah!”


Kuningan. Kota ini mengingatkanku kepada seorang paman. Selain seorang dosen dia juga punya hobi fotograper. Seringkali dia menceritakan beberapa pengalamanya saat-saat pergi kehutan atau ke gunung menjalankan hobinya itu, seru!. Atau kota ini juga mengingatkanku pada waduk, ya..waduk Darma, cukup indah dan letaknyapun strategis tepat disamping jalan raya. Bagi yang hobi swiming ditemani ikan “keramat” sebesar orok, Cibulanlah tempatnya. Airnya bening, alami, lantainya dari bebatuan tepat dibawah pohon rimbun berakar menggurita, indah tapi kadang serem juga!

Berbatasan dengan Ciamis ada Majelngka. Tahukah kawan, jika di kota ini pertama kalinya aku naik becak. Tepatnya di daerah Cikijing ketika bibiku melahirkan untuk pertama kalinya dahulu. Atau saat bertualang jalan kaki Tasik-Majalengka menyusuri perbukitan lalu camping di puncak kebun teh dekat Cakrabuana. Dan tahukah kawan, jika anda berada di atas gunung, maka semuanya beredekatan. Di kaki barat ada Bandung, selatan sedikit Sumedang, pinggirnya lagi Subang lalu Kuningan. Dan aku sendiri hampir tak menyadari jika saat itu telah berdiri di tanah Majalengka. Seru..!

Setibanya di Mesir, selain almamater, KPMJB merupakan komunitas yang pertamakali dikenalkan kakak kelas. Keakraban, persaudaraan, sangat lekat di komunitas ini. Bahkan boleh diblang sedikit seriusnya. Walaupun demikian, Konon, KPMJB seringkali dimintai pendapat/konsultasi oleh beberapa organisasi lain sebelum mereka memutuskan sesuatu khusunya soal mainstream. Terang saja, malah salah satu warganya malah tercatat sebagai Faounding Father SGS PPMI, dan itu menunjukan bahwa KPMJB punya ketegasan.

Jika dahulu pernah keliling tanah Jawa Barat, setidaknya warna-warni sifat masyarakatnya bisa kita lihat di komunitas ini. Baik dari cara bergaul, logat bicara, sifat, budaya, bahkan pemikiranya. Seolah-olah tiap individu mewakili tiap daerah asalnya masing-masing. Jika berkumpul, baik perbedaan maupun persamaan muncul dengan sendirinya. Tapi toh jika niatnya baik semua dapat saling melengkapi, bersatu padu demi kemaslahatan dalam ikatan persaudaraan, unik malah.

Persaudaraan memang sulit untuk dipisahkan, sekalipun ada jurang perbedaan dan itu yang aku rasakan. KPMJB memang pernah berbuat rasis, kapan? Yaitu saat tradisi nobar diselenggarakan, terutama saat Ac Milan menjamu Madrid, bahkan saking rasisinya aku pernah di smack down kala Milan membalas kekalahan, padahal jelas-jelas aku adalah pendukung Liverpool, menyedihkan!

Kalau boleh sok tau, kesanku dahulu, sekarang, bahkan yang akan datang, menurutku KPMJB bukanlah kelompok kajian, club olahraga, bukan pula sanggar seni musik atau theater puisi. Apalagi ditunggangi partai politik. Jikapun salah satunya ada, menurutku itu hanyalah bagian, wadah kreasi atau semacamnya tapi bukan tujuan utama. Mungkin lebih tepatnya KPMJB, adalah sebuah organisasi yang berdiri pada tanggal 10 November 1977 ini, tak lain sebagai perwujudan rasa kebersamaan selaku orang Jawa Barat, sekaligus sebagai refleksi keakraban serta kekompakan dalam meraih kesuksesan yang dicita-citakan.

Berdirinya organisasi kekeluargaan ini sama sekali bukanlah untuk menumbuhkan fanatisme kesukuan di kalangan warga Jawa Barat dalam berinteraksi dengan sesama masyarakat Indonesia di Mesir. Selain berperan aktif membantu Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) di Mesir, organisasi ini berorientasi menumbuhkan rasa persaudaraan dan ukhuwah Islamiyyah. Sebagaimana dalam misi utamanya: “Perwujudan organisasi sebagai wahana aspirasi dan pelatihan anggota dalam kegiatan pendidikan, sosial dan dakwah Islamiyah.”
Read more...

Friday, November 27, 2009

Back to Campus




Aktivitas akademik masisir kembali menggeliat secara masif, kampus coklat Al-Azhar mulai jejal dipenuhi mahasiswa-mahasiswi untuk menghadiri muhâdharah, menyimak pelajaran langsung dari sumbernya atau sekadar berdiri berjam-jam berpeluh jenuh dan keringat untuk kepentingan ijra’ât. Seiring dengan mendekatnya waktu ujian, rivalitas antara kegiatan kampus (kuliah-red) dengan kegiatan organisasi yang dulu kerap bersinggungan kini mulai dibenahi, disesuikan dengan jadwal kampus sebagai dukungan moril dan stimulan agar masisir fokus kuliah. Lantas bagaimana dinamika masisir, terkhusus warga KPMJB, dalam menyambut tugas “premier”-nya tahun ini? Simak laporan Manggala dalam Sorotan Utama berikut.

Fluktuasi prestasi akademis masisir selama dua tahun ini cukup menggembirakan, bahkan untuk tahun ajaran 2008-2009 peraih predikat imtiyâz mencapai angka 20 orang setelah sebelumnya hanya diraih oleh 7 orang saja. Meskipun demikian angka ke-rasib-an belum bisa terhapuskan sepenuhnya. Hal tersebut disebabkan masalah klasik, keterlambatan mahasiswa baru non-Depag secara massif. Berdasarkan data-data yang diperoleh, baik PPMI, kekeluargaan, senat dan beberapa almamater sepakat bahwa tahun ini prosentase ke-najâh-an masisir mengalami kenaikan.


Tak terkecuali warga KPMJB, dari seluruh masisir yang meraih predikat mutafawwiqîn tahun ini, 7 imtiyâz dan 31 jayyid jiddan diraih oleh warga KPMJB. Namun yang amat disayangkan hingga saat ini data ke-najah-an warga KPMJB belum terhimpun seluruhnya, sebagaimana diungkapkan Imam Suryansyah, gubernur KPMJB, “Untuk peraih mutafawwiqîn, alhamdulillah, mengalami kemajuan, cuma untuk data ke-najah-an warga belum dapat dipastikan karena keterlambatan pendataan,” ujarnya.

Peningkatan prestasi akademik masisir tentu bukan sesuatu yang kebetulan. Perubahan tersebut merupakan hasil akumulasi dari usaha, kerja keras dan kesungguhan. Dimulai dari membangun kesadaran pribadi agar rajin kuliah serta adanya dukungan berbagai pihak dengan terselenggaranya beberapa program untuk peningkatan prestasi akademis, seperti: fushûl taqwiyyah, bimbingan muqarrar, dll. yang terselenggara atas kerjasama Al-Azhar, KBRI, PPMI, Senat serta beberapa organisasi lain, termasuk diantaranya kekeluargaan yang selalu men-support warganya untuk selalu meningkatkan prestasi akademik.

Selain keutamaan dalam membentuk kesadaran pribadi, sugesti dan motivasi organisasi maupun komunitas-komunitas yang banyak mengantongi publik masisir tentunya sangat diperlukan. Keberadaan komunitas-komunitas tersebut ikut serta dalam membangun bî’ah mahasisiwa agar cinta kuliah. “Untuk kegiatan, DP-KPMJB sendiri tidak terlalu memaksakan. Kita memberi keleluasan agar warga tetap berkesempatan untuk masuk kuliah,” tukas Kang Imam saat dimintai keterangan mengenai antusias DP-KPMJB dalam mendukung perbaikan prestasi warganya. Dalam kesempatan tersebut Kang Imam juga mengungkapkan bahwa sekitar akhir November nanti, KPMJB akan mengadakan beberapa evaluasi kerja, khusunya mengenai proses belajar warga.

Mengenai antusias warga untuk masuk kuliah, sampai saat ini masih dalam taraf standar. “Mungkin insya Allah kalau sudah dekat ujian warga akan lebih rajin,” ungkap Kang Imam. Hal senada juga nampak pada warga KSW. “Saya kira sampai saat ini masih standar, mungkin mendekati ujian akan lebih semangat lagi.” Ujar Suyatno Ja’far Shadik, ketua KSW, mengomentari aktivitas kuliah warga KSW saat ditemui di depan papan pengumuman di sela-sela kesibukannya mencari raqmul julûs barunya.

Hasil baik tentunya bersumber dari budaya yang baik. Walaupun kuliah bukanlah aktivitas tunggal yang harus dijalani, namun agar prestasi dapat diraih budaya hadir muhâdharah tentunya tetap harus diutamakan. “Target muhâdharah wajib setiap hari, minimal satu mâddah,” ungkap Siti Fauziah, aktivis keputrian KPMJB, mantap. Senada dengan Fauziah, Hendar, warga asal Sukabumi, mengungkapkan, “Untuk saat ini belum terlalu sering sih, tapi minimal dua hari dalam seminggu.”

Sistem perkuliahan tanpa absensi kehadiran, diakui atau tidak, sangat tergantung pada kesadaran pribadi agar mau melangkahkan kaki sekadar untuk duduk mendengarkan penjelasan dosen di kuliah. Adakalanya motivasi masuk kuliah bisa datang dari mana saja, akan tetapi melaksanakan apa yang telah disadari hanya datang dari diri sendiri. Sebagaimana yang diungkapkan Ifaz, “Saya kan rasîb, pengalaman itu saya jadikan i’tibâr untuk lebih semangat lagi. Rasîb kan standar manusia. Dalam belajar tentunya dibutuhkan kesungguhan untuk sesuatu yang kita cita-citakan,” tutur mahasiswa asal Madura ini panjang lebar. Selanjutnya Hendar punya alasan lain agar tetap semangat kuliah, “Pertama, ingin dapat ilmu langsung dari sumbernya. Kedua, membantu dalam memahmi muqarrar,” singkatnya. Hal tersebut diamini oleh Bahrul Ulum yang kebetulan duduk bareng Hendar, menurutnya dengan ikut hadir muhâdharah mudah-mudahan kita dapat berkah guru “Al-barakatu ‘inda liqâ,” tukasnya.

Niat tulus untuk hadir kuliah terkadang tak selamanya berjalan mulus, bahkan baru-baru ini Al-Azhar menerapkan peraturan baru, diantaranya jadwal kuliah pagi yang kini dimulai tepat pukul 8 pagi. Selanjutnya untuk Fakultas Syariah tingkat 1-2, Al-Azhar menerapakan kuliah siang, dimulai pukul 14.00 dan berakhir sekitar pukul 20.00 petang. “Kuliah masih jarang, alasannya karena sulit transportasi apalagi kalau malam,” ungkap Jajang mengeluhkan. Selanjutnya Dimas yang tinggal di derah Tajammu’ mengomentari. “Saya harus berangkat jam 07.30 dari Tajammu’ agar dapet pelajaran pertama, karena kalau terlambat biasanya duktûr seringkali mengunci kelas,” ungkap mahasiswa bertubuh subur ini semangat. Berbeda halnya dengan mahassiwi, akses transportasi menuju Kuliyah Banat cukup banyak tersedia, kendalanya jutru lebih kepada kehadiran duktûrah yang seringkali berhalangan hadir. “Seringkali saat kita masuk muhâdharah beberapa duktûrah-nya malah berhalangan hadir, akhirnya kita ga bisa muhâdarah dech..,” ungkap Fau menyayangkan.

Berbagai kegiatan dan program peningkatan prestasi sudah banyak diadakan. Fushûl taqwiyyah misalnya, telah dibuka semenjak 5 November lalu, bahkan KPMJB sendiri jauh-jauh hari telah memulai program bimbelnya semenjak 26 Oktober. “Alhamdulillah bimbelnya berjalan dengan lancar, bahkan pesertanya dari berbagai derah karena memang dibuka untuk umum dan sudah berjalan sekitar dua minggu yang lalu,” ungkap Miftah, Divisi Keilmuan KPMJB sekaligus koordinator program bimbel KPMJB, semangat. Secercah harapan untuk memperbaiki mutu dan presetasi kini mulai terbuka lebar, tinggal ada kemauan, kesadaran dan ada kesunggguhan. Selanjutnya hasil kita serahkan.
Read more...