Tuesday, February 23, 2010

Persahabatan Dalam Bagian


Indahnya persahabatan adalah saat kita saling membutuhkan, di saat kita dibuthkan dan memberi pertolongan dengan tulus dan ikhlas. Betapa mudah seseorang mendapatkan seorang teman, karena jalinan persahabatan dapat saja terjalin karena adanya tali persaudaraan, ada juga karena kita dikenalkan, atau karena secra tiba-tiba kenalan dalam bis, di antrean atau dimanapun kita berada.

Ada banyak orang menjalin persahabatan, ada yang tulus ikhlas, ada yang karena sudah terlanjur saudara, ada yang karena uang, ada yang karena punya kebutuhan dan lainya.


Persahabatan yang dijalin karena ketulusan tentunya akan membuahkan saling memahami, yang sebnarnya sikap inilah yang dapat mengawetkan tali persahabatan. Jika kita termasuk orang yang mudah mendapatkan seorang sahabat maka tugas kita selanjutnya adalah bagaimana kita menjaga tali persahabatan hingga dapat bertahan selamanya bahkan bila perlu sampai usia menutup mata.

Menemukan sahabat, bagaikan menemukan perahu layar. Bila pandai menjaganya, denganya kita akan mengarungi lautan samudra hingga sampai ke pulau impian yang kita inginkan, berlarian di taman rumput di tepian pantai dengan hisan taman karang dan ombak-ombak yang kecil. Namun jika tak pandai, sebaliknya kita akan terhempas badai samudra lalu berebutan arah tujuan atau tenggelam bersamanya sebelum sampai ke pulau tujuan.

Ada dua tali persahabatan yang kita kenal, ada yang halal dan adapula yang haram. Meski mungkin kedua-duanya saling akrab, saling berduka cita berbagi cerita tapi tentunya nilainya berbeda. Cinta sejati adalah persahabatan yang dilandasi karena cinta, ketulusan hati karena Allah semata. Bertemu dan berpisah seklipun karena Allah semata.

Berbagai cara orang menemukan seorang sahabat, dengan tutur kata tentu lebih dominan, dengan isyaratpun tak sedikit tentunya. Dari sekian sahabat yang kita dapati atau yang kita kenali tentu tak semuanya akan menjadi sahabat sejati, karena tak semuanya dapat memahami, tak semuanya pula dapat saling membantu dan membutuhkan.

Berbagai cara orang memperthankan persahabatan, saling memperhatikanya setiap saat, membantu kawan saat membutuhkan bantuan atau tidak membutuhkan, menginggatkanya saat sahabat lupa, membawakannya oleh-oleh, atau sekedar menjadi pendengar sejati saat dia sedang berkeluh kesah, mengantar dia pergi, dan mungkin banyak lagi. Walaupun yang paling baik adalah ketika kita saling mengajak, menemukan solusi dan salang menghantarkan ke jalan yang baik, dan diridhai Allah SWT.

Seringkali kita diingatkan bahwa pentingnya persahabatan bukanlah saat ini akan tetapi pada saat yang akan datang, yaitu suatu masa yang tak terduga-duga. Saat kita saling dewasa, saat kita saling tua, atau bahkan saat kita saling masuk surga. karena mustahil kita akan saling terbuka, saling membantu kelak, jika saat ini kita malah saling melukai.

Berbagai hal yang harus kita hindari di saat menjalin persahabatan, diantaranya:
1. Mengingkari janji
2. Berbohong
3. Mencemooh dan meghina
4. Rasis
5. Terlalu banyak meminta dan sedikit membantu
6. Perhitungan
7. Mengungkit-ngungkit kesalahan
8. Mengadu domba
9. Berlaku bakhil, sombong, dengki kikir serta segala sifat yang dapat menghancurkan tali persahabatan.



Barbagi tips untuk mendaptkan seorang sahabat. Baik di majalah, berita atau guru-guru di sekolahan sekalipun, walupun tipsnya hampir sama tapi kadang ada kategori nilai yang tertinggal, yaitu betapa besarnya nilai sebuah persahabatan serta pengaruhnya terhadap nilai tataran sosial budaya, bahkan agama sekalipun.

Diatara tanda seseorang merasa care dengan sahabatnya adalah ketika dia mulai terbuka dengan kita, atau juga saat dia mulai berani meminta bantuan dan sebaliknya membantu kita.

Terkadang kita merasa direpotkan disaat teman meminta bantuan, padahal itu adalah tanda bahwa dia merasa terbuka, lalu berani dengan kita, tentu pada garis-garis kita saling memahami, karena adakalanya seorang teman baru yang langsung bra bri bro minta ini minta ono.

Sebagaibana yang banyak kita ketahui ada beberapa tipe persahabatan;

pertama persahabatan seperti racun: sebagaiamana racun, persahabatan seperti ini akan lebih banyak mengancam daripada menghasiikan mafaat.

kedua seperti obat: tipe sahabat seperti ini seolah dibutuhkan hanya saat kita terkena penyakit saja atau tatkala sakit saja, selebihnya dia pahit sebagaimana pahitnya pil obat .

Ketiga persahabatan sebagaiamana makanan dan minuman: ia dibutuhkan setiap saat, dia bagaikan air dipegunungan disaat kita sedang dahaga kehausan atau bagaikan roti penawar rasa lapar.

Sekian semoga bermanfaat. ;)
Read more...

Saturday, February 20, 2010

Klasifikasi Lafadz; Dilalah Wadih wa Ghairu Wadih


Prolog

Syariat Islam sebagai syariat Nabi dan Rasul yang terakhir; Muhammad Saw—, memiliki kesempurnaan sistem baik ditinjau dari aspek teks (al-Qur'an dan al-Hadist) maupun dalam implementasinya dalam bentuk konteks sosial. Diantara ciri khas sayariat Islam menurut DR. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc., dalam bukunya Islam Aplikatif, antara lain menyebutkan; kompherensif dan universal. Kompherensif beraarti syariat Islam mecakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik ritual (ibadah Mahdloh) maupun sosial (muamalah temasuk sosio kultural, ekonomi dan civil scoeity ), serta Universal menyangkut segala aspek kehidupan demikian penerapanaya tanpa batas waktu dan tempat.

Namun menurut salah satu tokoh kiri Islam yang layak kita kritisi dalam salah satu seminarnya mengemukakan; bahwa dalam persoalan muamalah tidak ada ketentuan yang pasti di mana Allah menentukan “otoritas kebijakan yang permanen” terhadap bentuk hukum yang wajib dipraktikkan umat Islam. Yang ada hanyalah nilai-nilai pokok universal dalam Islam sebagaimana juga ada dalam semua agama. Karena itu jika ingin menetapkan suatu hukum dalam soal muamalah di suatu masyarakat harus melalui jalan ijtihad tanpa perlu terikat pada sistem hukum yang baku dalam Alquran maupun Sunnah, sebab dalam hal ini tidak ada “Hukum Tuhan” dalam arti ma'na lafadznya secara mutlak dan permanen.



Dengan demikian diperlukan suatu instrumen lain untuk menjembataninya, yaitu suatu perangkat yang menyesuaikan antara ma'na teks dengan konteks yang selalu baru. Dalam hal inil Ushul Fiqhlah yang menjembatani anatara ketetapan-ketetapan al-Qur'an dan as-Sunnah dalam konteks Nash yang permanen dan prisipil dengan konteks sosial masyarakat yang selalu berubah-ubah dan bersipat Variable. Untuk itu dalam pembahasan Syariah muamalah kita kenal istilah Tsawabit wa Muthagoyirat (prinsip dan Variable). Dalam bidang ekonomi, misalanya yang merupakan prinsip adalah larangan riba, pengambilan keuntungan, pengenaan Zakat, dll. Sedangkan variable adalah instrumen untuk melaksanakan prinsip tersebut, misalanya murabahah, mudharabah dan lain-lain yang sesuai dengan perkembangan sosio kultural dan tuntutan zaman.

Walaupun pada dasarnya Ushul Fiqih merupakan kodivikasi kaidah-kaidah universal yang membantu untuk mengintisarikan pokok-pokok Syari'ah furuiyah, yang terambil dari dalil-dali nash secara ekplisit dan terperinci, namun dari sinilah sejatinya ilmu Fiqih terlahir sebagi produk instant dari Usuhul Fiqh.

Maka bentuk kekhawatiran para liberalis terhadap syariah, dimana mereka menuduh syariat sebagai perangkat Islam yang memiliki kejumudan tanpa membangun wacana kesepadanan antara teks dengan kontks rill sosial masyarakat yang terus maju dan berubah-ubah adalah tidak benar adanya. Begitu pula kekhawatiran mereka terhadap Bibliolatry meminjam istilah T.H. Huxley yang dikutip Ulil Absahar Abdala dalam sebuah tulisananuya Menghindari Bibliotary, tentang Pentingnya Menyegarkan kembali pemahaman Islam, yaitu sebuah kecenderungan umat terhadap Holy suprame dalam hal ini (al-Qur'an) dan al-Hadist, sebagai bentuk "penyembahan teks"—menempatkan teks dalam kedudukan yang begitu"suprame", begitu tinggi, sehingga mengalahkan pengalaman rill kehidupan manusia yang multi tradisi dan sosio kultural adalah pernyataan yang sangat tidak logis dan tidak berdasar.

Demikian dengan Fiqih sebagai instrumen syari'ah, dalam perkembanganya telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang berisikan kodipikasi-kodipikasi syar'iah melalui berbagai kajian serta hasil ijtihad para ulama yang tentunya memiliki cakupan sangat luas, yaitu mencakup segala ilmu , termasuk di dalamnya akhlak, ibadah dan muamalah.

Diantara beberapa bahasan Ushulul Fiqh, Klasifikasi lafadz merupakan salah satu pembahsan yang cukup urgen, bahkan dapat disebut sebgai intisari bahasan. Untuk itu perlu kiranya kita mengkaji lebih dalam lagi terkhusus dalam hal ini, karena pembahasanya sangat berkaitan erat dengan Istinbhatil Ahkam.

Setelah sedikit berapologi dan agar tidak keluar dari esensi bahasan, dalam pembahsaan kali ini kita masih berkutat pada Klasifikasi Lafadz, Jika kemarin menurut pemakaianya maka kali ini pengkalisifkasian menurut dilalahnya. Untuk lebih lanjut mari kita simak penguraian di bawah ini dimana penulis yakin bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan yang harus dikritisi, mudah-mudahan tidak merasa puas dengan makalah ini dan itu yang sejatinya penulis harapkan.


1. Klasifikasi Dilalah Wadih

Ada persamaan kategori pengkalsisfikasian Wadihu Dilalah menurut Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Ushulul fiqh al-Islami dengan Ilmu uhulul Fiqah karya Abdul wahab Khalaf, keduanya mengklasifikasikan Dilalah wadih kepada empat bagian; 1. Dzhahir 2. Nash 3. Mufassar 4. Muhkam. Penulis menyimpulkan bahwa keduanya menganut paham Imam Hanafi dalam mengklsifikasikan dilalah menurut Qoidah Ushulul fiqh. Karena dalam kitab Nuhayat ass-Sul karya imam Jamaluddin Abdurrahim al-Isnawi yang bermadzhab Syafi'i, pengkalsifikasikan lafadz dalam kitab tersebut sangat dipengaruhi dengan kaidah ilmu manthiq.


Sebelum memebahas Dilalalah berikut kalsifikasinya secara lebih jauh, terlebih dahulu kita akan membahas Takwil sebagai perangkat penting sebelum membahas dan mentafsirkan bentuk lafadz-lafadz dalam ranah dilalah, walaupun penjabaranya hanya bersipat global hal tersebut agar tidak mengurangi esensi penjabaran makalah tentang klasifikasi lafadz.

Takwil

Definisi Takwil secara etimologi: Tafsir. Sedangkan menurut terminologi para ahli ushul mengartikan takwil; sebagai pembebasan arti lafadz dari ma'na aslinya ke ma'na yang lain berdasarkan dalil yang kontradiksi dengan lafadz tersbut, maka seyognyanya pentakwilan (lafadz) harus di barengi dengan suatu dalil yang berlawanan denganya—demikian karena Al aslu adamuhu, dan konsensi wajib terletak pada kejelasan lafazdnya tersbebut.
Contoh pentakwilan: Taqyidul muthlaq (pengikatan hal yang muthlak), Takhsisul Amm (pengkhususan hal yang bersifat global), Sharafahu ann umumahu (pebebasan mana yang global)

Al-majaal Attakwil
Bentuk pentakwilan memasuki dua area dalam nash;
pertama: Nash yang berisikan hukum pentaklifan, dikarenakan keraguan yang tumbuh dalam benak seorang mujtahid dalam mentakwilkan lafadz dalam memahami ma'na bahasanya untuk selanjutnya menjadikanya sebuah kesimpulan hukum syara' dari nash tersebut.
Kedua: Nash-nash permanent yang berisikan keyakinan dan I'tikad, sebagimana ayat-ayat yang membahas sifat-sifat Allah, Ahrufulmiqhoto'ah dll.


Syarat-syarat Takwil
Pertama; suatu lafadz (yang memiliki kontardiksi ma'na) sehingga memrlukan dan menerima pentakwilan, sebagaiamana dilalah Dzohir dan Nash.
Kedua: Sebgaimana lafad muthlaq yang memerlukan pentakyidan/ikatan atau pemgkhusussan lafadz Amm.

Penjabaran takwil dicukupkan demikian walaupun sejatinya masih cukup panjang, masih banyak pembagian-pembagian lain yang belum kami cantumkan, hal tersebut agar tidak mengurangi esensi penjabaran makalah tentang perangkat-perangkat lafadz.

Klasifikasi Lafadz

Perlu diketahui bahwa terdapat perbedaan pendapat anatar ulama dalam meng-klasisfikasikan lafadz, diantara yang penulis ketahui; Syafi'iah dan Hanafiah , secara garis besar perbedaan mencolok diantara keduanya, yaitu dalam methode pengklasifikasian, jika Hanafiah cenderung sistematis dan sedikit mudah untuk dipahami, sedangkan Syafi'iah cenderung klasik dan manthiqi sehingga sedikit sulit untuk dipahami.
Namun penulis disini hanya akan mengklasifikasikan lafadz terbatas pada methode Hanafiah, hal tersebut karena mengikuti silabus kajian yang mengikuti methode Hanafiah. diantaranya terdapat dalam Ushulul fiqh al-Islami karya Wahbah Zuhaili serta Al-Imu Ushulul Fiqh karya Abdullah bin Khalaf.

Terdapat persamaan kategori pengkalsisfikasian Wadih Dilalah menurut Wahbah Zuhaili dalam bukunya Ushulul fiqh al-Islami dengan Ilmu Ushulul Fiqah karya Abdul Wahab Khalaf. keduanya mengklasifikasikan Dilalah wadih kepada empat bagian; 1. Dzhahir 2. Nash 3. Mufassar dan 4. Muhkam. Sehingga ada kemungkinan keduanya menganut paham Imam Hanafi dalam mengambil Qoidah Ushulul fiqh.

I. Dzohir

Dzohir secara etimologi; bearti jelas. Sedangkan menurut terminologinya yaitu; setiap lafadz atau kalam yang memiliki ma'na eksplisit terhadap obyek pembaca melalui konotasi bahasanya tanpa harus menukilkan ma'na lafadz terhadap hal-hal skunder diluar maksud lafadz tersebut, baik lafdz tersebut mengandung ma'na yang luas ataupun tidak. Sebagaimana Firman Allah {Ya Ayyuhannasuttaqu rabbakum} atau ayat lainya { Azani wazzaniatu fajlidu kullu wahiddin minhuma} kedua Ayat diatas memiliki Dilalah yang cukup jelas sehingga tidak perlu mentakwilkannya secara lebih ekplisit lagi.
ketika maksud suatu ayat dapat dipahami tanpa memerlukan penukilan terhadap ma'na lainya, akan tetapi bukan merupakan maksud asli dari konotasi bahasanya, maka hal itu dapat mengi'tibarkan kalam tersebut keapada--maksud kalam tersebut secara eksplisit
Contoh: {Fankihu maa thooba lakum minanannisa mastna wa stulasa wu ruba'a} ayat tersebut secara jelas menunjukan ke legalan berpoligami dalam memiliki istri, tetapi ma'nanya tidak menunjukan kepada arti luas dari ayat tersebut karena maksud utama dari konotasi ayat tersebut adalah meminimalisir jumlah istri dari empat atau satu saja sebagaimana diatas.

Hukum Dzohir
Hukum Dzohir wajib mengamalkan petunjuknya secara yakin dan pasti, baik lapadz tersebut bersifat umum ataupun khusus terkecuali apabila terdapat dalil lain yang mengeliminasi ke udhulan-ya, baik mengarah kepada maksud lain atau adanya dalil lain yang menunjukan pendiskualipikasian lafadz yang dimaksud, sebagaimana lafadz muthlaq yang memerlukan taqyid. Contohnya pada ayat tentang kelegalan berpoligami yang masih muthlaq {Wa ahallalohu maa wa'roa dzalikum}, ayat tersebut di taqyid dengan ayat lain {Mastna wa tsulasa wa rubba'a}, dan dalam suatu hadits tentang pelarangan seorang gadis hidup bersama pamanya.



II. Nash

Nash menurut definisi para ahli ushul: setiap lafadz yang menunjukan kepada ma'na atau maksud asli lafadz secara jelas, melalui konotasi lafadz tersebut dengan menggunakan perangkat takwil, takhsis dan menerima nasakh (khusus di masa turunya wahyu).
Contohnya: {wa ahalallohu al-Bai'a wa harroma arriba} disatu pihak ayat tersebut menunjukan pengingkaran "misal" dan di pihak lain menerangkan perbedaan antara; jual beli dengan riba dari segi halal dan haramnya.

Maksud ayat tesebut jelas yaitu pelegalan jual beli dan pelarangan riba, sebagai sanggahan terhadap statemen orang Yahudi terhadap riba yang terdapat pada ayat sebelumnya { Innamal Bai'a mistlu ar-riba}

Hukum Nash
Nash wajib hukumnya, sebagaimanan hukum Dzohir dengan pertimbangan takwil dan nasakh, meskipun pentakwilan tidak di sandarkan kepada suatu dalil atau pentakwilanya berada jauh dari ma'na dzohirnya, kedudukan nash bersifat tetap hukumnya Qat'i dan yakin.

III. Mufassar

Definisi Mufassar yaitu: setiap lafadz yang menunjukan kepada ma'na serta maksud lafadznya secara dzohir tanpa menyertakan perangkat takwil dan takhsis akan tetapi menerima nasakh (terbatsa pada masa turunya wahyu berlangsung).
Dalam menerangkan suatu lafadz, Mufasssar terbagi dua bagaian.
Pertama: Bayanu at-Taqrir.
Yaitu suatu keterangan dengan perfikasi takhsisulafdzi, majaz dan takwil apabila berbentuk umum dan mengubahnya menjadi lafadz muakkad.
Contohnya: {Tholaki nafsiki marrotan wahidatan} lafadz (wahidatan) dalam hadits tersebut menunjukan kemungkinan pentalaqan lebih dari satu kali, sehingga perlu keterangan lain untuk menafsirkanya.
kedua: Bayanu at-Tafsir.
Yaitu suatu keterangan dengan menafsirkan ma'nanya yang tersembunyi meliputi lafadz tersebut serta menjelaskanya sehingga lebih eksplisit.
Contohnya: {Fasajjada al-Malaikat kulluhum ajmaun}" kata mlaikat disini bersifat umum sehingga memerlukan pengkhususan-- karena perkataan yang didahului alif lam akan bersifat jama'(umum). akan tetapi kalimat malaikat disini telah bersifat khusus (dengan maksud) sebagaian malaikat tidak melaksanakan sujud. kalimat (kulluhum) disini menunjukan pembebasan taksis, hal ini menunjukan bayan taqrir. sedangkan kalimat ( ajmaun) menghilangkan ihtimal pelaksanaan sujud yang berbeda-beda; hal ini disebut dengan bayan tafsir, menafsirkan kaifiyah sujud, serta membatasi ihtimal perbdaan takwil.

Hukum Mufassar
Kedudukan hukumnya bersifat wajib qoth'i, tanpa memerlukan ihtimal takwil atau takhsis serta nasakh di masa nabi, dengan syarat apabila hukumnya tersebut bersifat Juz'i; karena masa pemberlakuan nasakh (penghapusan ma'na nash) terbatas pada saat turunnya wahyu berlangsung, adapun setelah wafatnya Nabi Muhammmad. Saw dan terputusnya wahyu, kedudukan hukum syara' dalam al-Qur'an dan Sunnah menjadi ketetapan hukum yang permanen tanpa menerima nasakh dan Ibthol

IV. Muhkam

Muhkam menurut terminologi para ahli Ushul; Yaitu lafadz yang menunjukan kepada ma'nanya melalui konotasi lafadz tersebut secara jelas dan terperinci tanpa menggunakan takwil, takshsis dan nasakh. Hal tersebut karena lafadz Mufassar menyangkut permasalahan asasi, seperti halnya Ushulul Iman, Ushulul fadhail dan Qaidah akhlakiah.
Dalam kitab Ushulul Fiqh Alislami, Wahbah Zuhuaili mengkalsisifikasikan Muhkam kepada dua tema;
Pertama: Almuhkam Lidzatihi, yaitu suatu konsensus hukum yang terambil dari dzat nash tersebut. Sebagaimana Firman Allah {Innalaha Bii kulli syain Alim} maka sifat alim bagi Allah bersifat qadim azali yang artinya berdiri sendiri dengan dzatnya ta'ala, maka pembahasannya ini tidak menerima Nasakh, maupun takwil karena pembahsanya yang bersifat permanen dan tetap mengenai sifat Uluhiyah
Kedua: Al-muhkam Li Ghoirihi, yaitu lafadz yang terhukumi disebabkan perkara lain diluar nash, yaitu setiap Nash yang terputus penasakhan-nya disebabkan terputusnya (masa penurunan) wahyu kerana wafatnya Nabi Saw., Maka hukum tersbut (dapat) datang dari perkara lain diluar Nash, hal tersebut meliputi berbagi macam dilalah wadih yang empat; Dzohir, Nash, Mufassar, dan Al-muhkam.

Hukum Muhkam:
Hukumnya wajib Qoth'i tanpa ada keraguan lagi, dikarenakan tidak ada pertimbangan lain untuk mem'anainya ke arti yang lain serta tidak pula menerima nasakh dan pembatalan nash secara muthlaq, baik dimasa turunya wahyu maupun setelah wafatnya Rasul Saw.

Kesimpulan Dilalah Wadih
Setipa Dilalah (Dhohir, Nash, Mufassar dan Muhkam), maka kedudukanya wajib menjadi sebuah supremasi hukum secara qath'i dan yakin, aka tetapi ke-empatnya memiliki kemungkinan pertimbangan, yaitu; ketika terjadi pertimbangan ma'na terhadap dalil-dalil yang kontradiksi.
Adapun alternatif pengambilan hukum terhadap dilalah yang memang mengalami kontradisksi, maka setidaknya kita harus memilih dilalah mana yang paling kuat dari ke-empat macam lafadz tersebut Karena ke-empatnya memiliki tingkatan hukum serta kekutan ma'na yang berbeda-beda. Adapun tingkatan hukum yang peling kuat dan jelas menurut tingkatanya adalah: Almuhkam, Mufassar, Nash dan terakhir Dzohir.
Contoh kontradiksi; antara dzohir dan nash;
Dalam sebuah Ayat {Wa ahllallohu maa waraa'a dzlikum}, dengan ayat lain: {Fankihuu maa Thoaba lakum min annisa'i mastna wa tsulasa wa rubaa'a}. Kedua ayat tersebut sama-sama menunjukan kelegalan berpoligami, akan tetapi ayat pertama berbentuk dzohir, tanpa ada batasan jumlah (red;istri), sedang pada ayat ke-dua berbentuk nash, karena menunjukan batas jumlah istri dalam ber-poligami (satu sampai empat istri), serta larangan melebihkannya. Secara langsung kedua dilalah ini menunjukan sebauh kontradiksi ma'na. Adapun caranya dengan mendahulukan nash, dengan alasan nash lebih kuat dibandingkan dzohir dalam pengamalan dan pengambilan istinbath hukumnya, karena nash bersifat global mencakup kedua dilalah dengan mempertimbangangkan (lafadz dzohir) sebagai tamtsil terhadap pertimbangan lain yang sepakat dengan nash. Hal ini sesui dengan kaidah umum ushul fiqh; Al-aqwa yuqoddimu ala adh'ap i'nda Att-aarud.

Untuk menghemat penulisan, sekian contoh yang penulis sertakan, untuk contoh lebih lanjut kita akan mencoba membahasnya pada saat diskkusi nanti Insya Allah. Selanjutnya kita akan memebahas judul berikutnya.

Klasifikasi Dilalah Ghairu Wadih

Para ahli ushul mendefinisikan Dilalah Ghairu Wadih; Setiap Dalil yang tidak menunjukan ma'na asli lafadz tersebut melalui Sighatu Lafadzi-nya, akan tetapi ma'nanya tersifati (dapat diketahi) melalui perkara lain diluar konotasi lafadznya. Kalasisfikasi Dilalah Ghairu Wadih terbagi kepada empat bagian: Khafii, Musykil, Mujmal dan Mutasyabih. Ke-empat bagian ini masing-masing memiliki kedudukan serta drajat yang berbeda sesuai dengan kategorinya.

Pandangan Umum.
Kategori peng-klasifikasian tingkatan dilalah Ghairu Wadih berdasarkan kesamaran/ketersembunyian lafadz serta Ma'na yang terkandung di dalamnya. Apabila kesamaranya terdapat pada ma'nanya maka disebut: Khafa. Sedangkan apabila kesamaranya terdapat pada Lafadz terbagi kepada tiga bagian: pertama, apabila maksud atau ma'na dari lafadz tersebut masih dapat diketahui melalui akal disebut: Musykil, kedua, bila diketahuinya dengan dalil Naqli dan tidak dengan akal disebut: Mujmal, ketiga, apabila maksud lafad yang tersembunyi tidak bisa di ketahui dengan akal maupun dalil naqli disebut; Mutasyabih. Untuk emnegtahui dalil mutaysabih lebih lanjut akan penulis uraikan dibawah ini.

I. Khafa

Menurut terminologi para Ahli Ushul: Khafa adalah Suatu lafadz yang menunjukan ma'nanya secara jelas, akan tetapi terdapat beberapa hal yang samar pada sebagian tingkatan ma'nanya yang lain, sehingga membutuhkan penela'ahan dan pengkajian yang mendalam untuk mengetahuinya.
Contohnya: Lafadz {Assariqu} dalam ayat {wassariqu wa sarriqotu faktau' ayidiyahuma} , definisi Assariqu (mencuri) sangat jelas: yaitu merampas hak milik orang lain berupa harta Haraz dengan jalan sembunyi-sembunyi.
Pengambilan hukum menjadi samar bila kata sariqah disandingkan dengan kejahatan yang sejenis akan tetapi terdapat perbedaan dalam cara mengerjakanya, contohnya; Atharar dan Annabasy . Walupun ma'nanya hampir sama ( kegiatan mencuri), namun ada perbedaan cara serta obyek yang diambil, hal inilah yang menjadikan keraguan dan perselisihan pendapat para ulama apakah ke-tiganya dikategorikan hukum sraiqoh (potong tangan), ataukah tidak, dalam hal ini perlu pengkajian dalam menentukan hukumnya.
Diantaranya Imam Syafi'i dan Imam Abu Yusuf sepakat menghukumi ketiganya dengan hukum sariqah, akan tetapi Imam Hanafi memiliki pendapat lain dalam menghukumi Annabasy, menurutnya kasus Annabasy ini tidak bisa dikategorikan dengan hukum sariqoh, alasanya; karena (harta) yang terdapat di pekuburan tidak termasuk harta yang dipelihara/dijaga, dan kafan umumnya termasuk harta yang sifatnya tidak diingini banyak orang oleh karena itu, penamaanya pun berbeda (tidak sriqu kaffan), maka hukum Annabasy, masih menurut Hanafi tidaklah sama dengan hukum sariqoh akan tetapi dihukumi dengan ta'jir. Berbeda halnya dengan Imam Syafi'i dan Imam Yusuf yang mengkategorikanya dengan hukum Sariqah (dipotong tanganya).

Hukum Khafi:
Wajib mengadakan usaha untuk mengetahui pengertianya serta ma'nanya, apabila terdapat lafadz yang justru lebih jelas (Atharar: perampokan), maka hukumnya di kembalikan ke asal lafadz aslinya (sariqoh: pencurian)

II. Musykil

Menurut para ahli Ushul, Musykil adalah: setiap lafad yang tersembunyi ma'nanya disebabkan bentuk asal lafadznya tersebut, oleh karenanya tidaklah mudah mengetahui ma'nanya kecuali dengan pengkajian dan perbandingan ma'na/maksud dengan perangkat lain secara seksama.
Contohnya: {wal muthalaqatu Yatarabbasna bi anfusihinna tsalasatu quruuin} , lafadz Quru' dari ayat diatas menjadi batasan waktu Iddah, sedangkan dari segi bahasanya memiliki dua ma'na; Suci atau Haidl. Maka terdapat perselisihan pendapat. Diantaraya Imam Syafii dan Imam Maliki mengartikan Lafadz Quru'sebagi Thaharah. sedangkan menurut Imam Hanafi Ma'na Quru' berarti Hadil. walupun Wahbah Zuhaili dlam kitabya merajihkan pendapat pertama. pada dasarnya keduanya memiliki alasan yang kuat namun penulis disini tidak bermaksud mencantumkanya semoga dapat ditemukan dalam diskusi nanti.

Hykum Musykil
Wajib mengkaji serta menela'ah lafadz musykil untuk mengetahui maksud serta ma'na lafdz tersebut serta mengamalkanya, sesuai dengan perbandingan keterangan serta dalil-dalil yang menyertainya.

III. Mujmal

Para ahli ushul mendefinisikan Mujmal; setiap lafadz dimana sighohnya tidak menunjukan kepada ma'na asli lafadz tersebut tanpa ada pembanding atau konteks yang menjelaskannya, sehingga dengan kata lain sebab ke abstrakan ma'nanya dikarenakan lafadz bukan maksudnya.


Sebab-sebab dilalah Mujmal;

Pertama: al-Isytirak ma'a adamu al qorinah, kedua: gharabtul isti'mal ketiga: Annaqlu minal ma'na allughowi ilaa ma'na isthilahi.

Hukum Mujmal:
Penetapan ijtihad ma'na dilalah Mujmal terbatas hanya pada masa turunya wahyu sebab ma'nanya yang sangat mubham serta tidak ada sighah lafadz atau dalil lain sebagai pembanding untuk menjelaskan ma'nanaya, maka penafsiran ma'nanya langsung dari Nabi Saw., Tanpa memakai perangkat ijtihad.

IV. Mutasyabih

Definisi Mutasyabih menurut para ahli ushul yaitu: suatu lafadz yang sama sekali tidak menunjukan arti lafdz tersbut dengan sendirinya, tanpa ada Qrinah-qorinah lain yang membantu menjelaskanya, akan tetapi mayakininya secara syara' tanpa menafsirkanya lebih lanjut.
Sebgai pengetahuan bahwa lafadz Mutasyabih ini tidaklah terdapat pada ayat-ayat hukum, akan tetapi lafadz mutasyabih ini terdapat pada tempat/Nash lain, sebgaimana ahruful muqatha'ah pada permulaan beberapa surat; alif lam, Qaaf, Ahad dll. atau dalam sebagian ayat al-Qur'an yang menjelaskan bahwa Allah Swt., memiliki perangkat tubuh sebagaimana makhluknya, sebagaimana tercantum dalam beberapa ayat.
Untuk ahruful Hijaiah al-Muqata'ah, seluruh ulama sepakat bahwa tidak ada man'a yang pasti dan tidak adapula penafsiran Allah kepada maksud aslinya, untuk itu Allahu a'lamu bimurodihi. Sedangkan untuk ayat-ayat mutasyabihat terdapat dua perbedaan pendapat, yaitu: ulama salaf dan khalaf dalam menafsirkan Ma'na ayat tersebut.
Pertama: ulama salaf, mereka lebih cenderung tawaquf dalam mema'nai ayat-ayat tesbut dengan meyakini sepenuhnya, tanpa ada usaha untuk mentakwilankan lafadz tersebut ke ma'na lainya, hal tersebut sebagi tindakan kehati-hatian mereka dalam me'ma'nai lafadz tereebut. Landasan ulama salaf adalah dalam menenntukan wuquf dalam bacaan ayat {wamaa ya'lamu ta'wiluhu illallahu } ,
Kedua: ulama Khalaf menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat dengan ma'na mazaji sesui dengaan dzohirul lafadzinya. karena menurut mereka al-Qur'an diturunkan untuk di taddaburi, di kaji dan digali ma'mananya baik yang dzohir maupun yang tersembunyi. Sebagaimana lafadz {alyad}, dima'nai dengan Qudrah yang berarti kekuatan, atau {A'yunina} dengan arti Riayatuna yang berarti penjagaan/pengasuhan. Sebagaimana telah dijelaskan diatas landasan mereka adalah dalam menentukan wuquf yang berebda dengan ketentuan wuquf ulama salaf {wama ya'lamu ta'wiiluhu illallohu waa arrsosikhuna fil ilmi}.

Kesimpulan

Dari uraian diatas, sedikitnya dapat kita ambil kesimpulan bahwa klasisfikasi lafadz memiliki tempat yang sangat urgen dalam kaidah ushulul fiqh, hal ini dikarenakan keberadaanya yang menjadi titik vokal dalam pengambilan serta isthinbatul ahkam Ushul Fiqh. Perlu pengkajian lebih, dalam mene'laah ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadist terkhusus nash-nash hukum, karena setiap lafadz tidak serta merta menunjukan ma'na serta maksud dari konotasi lafadz tersebut, melainkan terdapat berbagai perangkat lain dalam menentukan ma'na serta maksdunya, diantar perangkat tersebut sebagaiaman telah di uraikan diatas; Takwil, Nasakh wal mansukh, Tarjih dll, yang semuanya terangkum dalam ranah ijtihad para ulama dan shalafu sholeh.

Epilog

Alhamdulillah puji syukur kepada Allah S.W.T, termikasih kepada teman-teman serumah dan seperjuangan yang telah menyokong, membantu serta mengorbankan ketenangannya disaat proses penulisan makalah ini. Tanpa mengurangi rasa syukur, sudah seyogyanya kita sebagai "thalib" warisan para alim ulama agar tidak merasa puas dan cukup terhadap ilmu yang kita miliki, spirit kritis dan bertanya nampaknya masih sangat perlu dibangun, keduanya adalah instrumen istimewa pembuka wawasan pemecah kebekuan dan kejumudan. Masih banyak kekurangan dan kesalahan yang perlu di kritisi dan diluruskan, kurang lebihnya penulis mohon maaf, mudah-mudahan menjadi bekal di masyarakat serta menjadi amal ibadah di sisi Allah. Aminn

Wallahualam Biishowaab
Read more...

Thursday, February 18, 2010

Mimpi


Dipagi hari, saat gelap mulai meninggalkan jejak malamnya, saat mentari masih enggan memberikan sinar paginya. adzan subuh masih belum berkumandang, masih terdengar suara shalawatan yang merdu terpancar dari sebuah speaker mesjid tepat dibelakang flat sekitar tempat tinggalku. Tampak tak ada yang berubah, semua berjalan apa adanya, hening, dan sesekali ada nyaringan serta suara knalpot kendaraan di jalanan sana.
Aku terbangun, tertegun dari tidur malamku, terdengar suara rington sms membawakan lagu romantis milik albumnya Amir Diab. Minggu-minggu ini aku memang sedikit lebih peka dari hari-hari seblumnya, begitu mudah terbangunkan, entah.., mungkin karena sumaringah suasana hatiku yang membawaku demikian.

Sejurus kemudian, ku ambil Hp jadulku yang tergeletak diatas kasur di samping tubuhku. "My honey" tertera sebagai nama si pengirim yang telah lama tersave di urutan nomer kontak HP ku, setelah sebelumnya, nama kontak itu berganti nama dari "Nadia aja" lalu tak lama setelah 3 bulan kemudian ku ubah namanya jadi "Dek Nadia" dan terakhir 2 bulan yang lalu, ku ganti lagi dengan nama baru "My Honey" dan bertahan sampai saat ini, hingga aku berazzam tak mengganti-gantinya lagi, kecuali dengan satu nama "istriku tercinta belahan jiwa", mewakili sejarah cintaku …humm
Perlahan mulai ku baca isi pesanya, satu demi satu kata-katanya mulai terbaca, setiap kalimat menambah ritme getar jantungku yang mulai tak menentu, padahal sms bukanlah fasilitas komunikasi yang baru bagi kita berdua, bahkan untuk hal yang kurang penting saja kadang kita bela-belain untuk segera berbagi cerita melalui fasilitas ini. Mungkin bukan saja hanya pesanya yang selalu berkesan dan penuh kejutan, tapi terlebih karena sms ini adalah pesan terakhir yang dia kirimkan sebelum aku masuk kedunia baru sebagai estafet cinta dari kehidupan masa muda yang penuh dengan warna. " kakandaku" ….deg..deg jantungku berdebar "ini adalah hari terakhir kita bersama,adek ingin agar kita akhiri cerita ini dengan sembah sujud ,sbg rasa sykr kepadaNya,mmhn ridha agar cinta yg kt awali tetap abadi, maaf bila adek t'lah mengganggu".

Sesaat aku terenyuh membaca isi pesan singkatnya, suatu kegiatan yang tak asing lagi bagiku, dikala pagi yang terlalu dini yang rutin ia kirimkan. Dialah bidadari motivatorku yang selalu membangkitkan gairah sembah sujudku untukNya. Walaupun pesanya seperti biasa, tapi bagiku serasa sangat terlalu istimewa, terlebih karena waktulah yang mengolahnya.
Sejenak ku pandangi seisi kamar sebelum beranjak mengambil air Wudlu. Tiba-tiba mataku manatap sebuah figura, terletak diantara PC dan tumpukan buku-buku, disana terdapat fhoto kedua orang tua serta kedua adiku terpampang menatap ku dengan penuh senyuman. Perlahaan aku menatapnya dalam-dalam, ku usapi wajah-wajah yang penuh cinta itu setu demi satu, lalu terbayang saat-saat masa kecilku dahulu yang penuh manja namun mereka tetap cinta. Saat-saat aku menangis di Bandara dan semua mearngkulku dengan mata sembab, kecuali si adik kecilku yang baru lahir karena ia masih terlalu polos untuk merasakan kesedihan dan arti sebuah perpisahan.

Tak terasa bola-bola keristal meleleh hangat dikedua pipiku, kemudian mataku tertuju pada jas hitam lengkap dengan celana serta kemeja putih yang telah tergantung rapih, pakaian yang dipersiapakn panitia kecil untuk kugenakan sebagai seragam cinta untuk mengikuti upacara sederhana namun tetap terjamin sakral sebagai ikatan cinta abadi yang sesuai dengan tuntunan dan aturan, hingga mendapat Ridho dan berkahNya.
Sungguh aku merasa betapa besar anugrah yang telah Allah berikan, kekuatan CintaNya yang terkadang membuat kita seakan sedang di alam mimpi. RahmatNya yang begitu luas, melibihi luasnya lautan dan samudra, hingga hembusan kasih sayangNya yang mampu menyatukan dua jenis makhluk yang berbeda, sebagai salah satu Sunatullahnya.

Lekas aku dekap foto keluargaku itu erat-erat, aku menangis sesegukan, sungguh sebuah kegiatan yang langka semenjak aku meninggalkan masa kecilku dahulu. Rasa haru dan bahagia bercampur menjadi satu, ada sedikit kesedihan yang merasuk, mengingat kedua orang tua dan sanak keluarga yang tak bisa hadir mendampingi, tapi perasaan itu cepat-cepat aku tepis karena aku tahu betapa mereka telah sangat meridhai niat suciku ini, dan bukan saatnya lagi bagiku untuk bermanja-manja meminta segala sesuatu agar dapat didampingi mereka, walaupun Ridha, pesan dan nasihatnya selalu aku utamakan "hidup ini perjuangan" yakinku dalam-dalam.

Ada juga rasa sedih karena akan berpisah dengan beberapa teman-temanku, khusunya teman satu rumah yang lama mengolah cerita dengan canda dan tawa, yang sesekali dibumbui dengan celotehan dan maen gojlok-gojlokan saat satu diantara kami lupa atau terlambat mengerjakan jadwal masak, heumm rasanya kami tak ubahnya seperti saudara kandung sendiri dalam sebuah keluarga cemara.

Aku juga terkadang merasa bersalah sendiri, karena rumah yang telah disewa selama 3 tahun bersama-sama ini, harus mereka relakan untuk tempat tinggal aku dan istriku nanti. Tapi…ah.., toh, ini hanya perpisahan sementara, kapan saja aku masih bisa ko, berkumpul dengan mereka lagi, gumamku dalam hati.

Adapun masalah rumah, sudah jauh-jaih hari aku meminta izin mereka, kita juga udah sama-sama Ridha, apalagi dulu kita pernah sepakat kalau siapa saja yang duluan nikah, dialah yang berhak untuk tinggal di rumah ini, walaupun yaa.. bukan sejenis perjanjian hitam diatas putih, tapi semacam solidaritas persaudaraan untuk mempermudah ibadah pengantin muda.

Tapi yang paling ga enak lagi sama kang Andi, dia adalah seniorku dirumah ini, bahkan usianya di negri ini, 3 tahun lebih dulu dari keberangkatanku. Saat ini beliau sedang menulis dalam rangka program pasca sarjananya, sedangkan aku masih tingkat tiga di fak yang sama, walaupun demikian belaiau adalah orang yang paling dewasa dan bijaksan di rumah ini, belaiaulah yang selalu menampung segala curhatanku saat aku punya permasalahan, bahkan untuk acara pernikahanku ini saja, beliaulah yang paling banyak membantu dan memberikan banyak nasehat. Heumm …Disanalah aku menyadari jika tabir takdirNya siapa yang tahu… ?? bahkan untuk masalah jodoh saja, tak ada istilah pandang umur dan waktu, sambil tak sengaja terdetik dalam hatiku "maaf kang Andi saya mendahului".

Waktu subuh sudah semakin dekat, segera aku bergegas mengambil air wudlu, lalu mulai bertakbir sebagai permulaan sahalat tahajud dengan beberapa raka'at. Setiap bacaan, surat demi surat terasa begitu utuh menyentuh kalbu, dalam sujud pertama aku berharap pintu Tobat dari segala perbuatan dosa-dosaku baik yang disengaja atau yang tak terasa, diberikan keyakinan hati dan keistiqamahan serta ikhlas dalam setiap menjalankan roda kehidupan. Sujud kedua aku berdoa agar diberi keberkahan umur dari setiap kesempatan, berharap agar calon istriku menjadi seorang istri yang solehah se-iyah dan sekata mendampingiku berjuang dijalan Allah, patuh pada perintah agama dan suami, ibu dari anak-anakku yang akan lahir sebagai generasi, hingga bila diakhirat nanti menajdi bidadari surgawi.

Dalam doa-doa panjangku, tak lupa doa buat kebaikan kedua orang tuaku dan juga calon mertua, guru-guru saudara dan teman-temanku seperjuangan, hingga kekuatan agar aku dapat memegang janji setia untuk tidak merokok lagi, selain untuk menjaga kesehatan, janjji ini telah kadung menjadi salah satu persyaratan yang Nadia pinta saat prosesi lamaran di rumah bu Rami tempo hari. Airmataku tak tertahankan lagi, "hanya engkaulah tempat aku mengadu dan meminta, aku hanya hambamu yang kecil dan rapuh, sungguh tak ada daya dan upaya keculai karena mu Ya Allah" pintaku dalam doa.
Saat diri merasa rapuh dan tak berdaya, tak ada lagi kerasnya hati yang tak berdaya, saat itu pula aku merasa menyatu dengan penuh kekhusyu'an dan penuh pengharapan. Cinta sejati kepada seorang makhluk telah memberi insfirasi yang dalam untuk mencintaiNya lebih dari segalanya.

***
Jarum jam menunjukan pukul 8.00 pagi, sisa waktu tinggal 1 jam lagi sebagaimna yang tertera dalam undangan. Rington HP hampir setiap detik bersuara, Banyak sms yang masuk baik dari keluargaku di Indonesia maupun teman-temanku di Cairo mengucapkan selamat dan tahniah. Sedarinya aku sudah bersiap-siap menggenakan seragam cinta sederhana lengkap dengan peci hitam lalu berdiri di depan cermin sambil melafalkan lafadz Ijab Qabul buat akad nanti.
Tiba-tiba Kang Andi sama Arif adik kelasku datang sambil berdehem dengan penuh senyuman meyakinkan ku agar tetap penuh semangat, lalu keduanya menghampiriku dan merangkul pundaku "gimana udah siapkan dim…?" tanya kang Andi, InsyaAllah Kang doanya.." jawabku sambil berseri-seri, walaupun ada sedikit kegugupan yang masih terselip. "kang Dim..sebelum berangkat kita shot dulu ya.., mulai dari pake baju pengantin bercermin sampe nanti pas di Assalam" ujar Arif adik kelasku yang tinggal satu rumah, ia cukup kreatif, orangnya baik cuma kalo tidur sering berisik.., dengan modal handycam dan kompter dia mamapu memebuat perusahaan kecil sejenis jasa pembuatan filem dokumenter buat para Mahasiwa yang ingin mengabadikan moment-moment pentingnya, Cuma untuk kali ini jasanya ia buat gratisan, katanya hitung-hitung buat kado pernikahan kang Adim.

Setelah beberapa menit berpose, si memet dateng memberitahukan sesuatu " cuileuh penganten nya lagi berpose..hihi" clotehnya, " kang Dim pak Hilmanya udah dateng, manehna di ruang tamu", "berisik tauuuuu" timpal Arif yang lagi khusu ng-shoot. " ok sbentar ya Met" pesanku pada memet.

Setelah selesai beberapa menit, Aku menemui Pak Hilman yang sudah menunggu di ruang tamu, belaiu berkacamata dan wajahnya yang selalu ceria dengan senyuman yang selalu tersungging di rona wajahnya, aku langsung menyalami dan mencium tangan belaiu, belaiu pun menimpali dengan merangkulku penuh kehangatan.

Pak Hilman adalah seorang lokal staf KBRI kairo, beliau sudah cukup lama bertugas disini, selain bertugas sebagai staff di atase pertahanan KBRI, beliau juga salah satu sesepuh KPMJB (Kekeluargaan Mahasisiwa Jawa Barat) sehingga tidak aneh jika ia sangat akrab dengan mahasisiwa, khususunya yang berasal dari Jawa Barat, karena ia sendiri berasal dari daerah Bandung, bahkan setiap ada Mahasiswa asal Sunda yang ingin menikah seperti aku disini, beliaulah yang sering bertindak sebagai walinya, " kumaha kang Dim tos siapnya…?" tanyaanya, "insyaAllah Pak". "Cobi ku bapak di tes dulu kang Dim, lafadz akadnya sebentar, biar nanti ga gugup" pintanya.

Setelah dengan lancar aku coba melafadzkanya, pak Hilman mengacungkan jempol sambil tersenym, " wah udah siap inimah, tinggal persiapan buat malemnya, udah siap belum Kang dim, kalo perlu fush up dulu lah.." canda Pak hilman disertai gelagak tawa kang Andi, arif dan si Ahmet.

Kami berempat mulai beranjak, memasuki mobilnya Pak Hilman, Arif mengikut sambil meng-shoot kami dari belakang, setelah semua masuk mobil tiba-tiba si Arif mengingatkan sesuatu" perasaan ada yang ketinggalan… eh…si memet kemana,,??", " lha kemana si memet… coba Panggil rif" ujar kang Andi, "gini emang nih jelekya si Memet nieh.." kelakar Arif kesal, " met mau ikut ga loe, cepetan mau berangkat niehh…!" teriak Arif.

Satu lagi teman satu rumah yang cukup kocak, selain berbadan subur, kadang-kadang kata-katanya polos tapi cukup menghibur, sering nyoba-nyoba pake bahasa sunda, cuma dengan konsonan dan penempatan kata yang kurang pas sehingga terdengar sedikit ganjil, aktivitasnya tak jauh dari komputer, Cuma walaupun begitu, dia cukup produktif mengembangkan hobinya membuat cerpen dan tulisan sasatra, bahkan bebrapa tulisanya sering nampak pada buletin yang aku pimpin TëROBOSAN, serta bebrapa buletin masisir lainya, berasal dari luar jawa, lampung tepatnya, nama aslinya Ahmad Ginanjar, tapi memet adalah nama sapaanya, sebgaimna aku Ahmd Dimyati, di panggil dengan nama singkatan Adim.
Read more...

Wednesday, February 17, 2010

Wanita diantara Prosfektif Timur dan Intervensi Barat


Judul asli: Al-Mar’atu baina Haqaiqul Islam wa abtahilil Gharab

Pengarang : DR. Yahya Hasyim Hasan Fargol
Penerbit : Dar el-Bayan Lil el-Nasyr, Kairo
Copy Right : Diterbitkan tahun 1999 M. Hak penerbitan ada di tangan
pengarang
Jumlah Halaman : Terdiri dari 123 hal,



Wanita laksana tiangnya negara, tanpa tiang coba Anda bayangkan, Kalau semua maju ke garis depan tentunya lemah di garis belakang, kalau wanita juga sibuk bekerja- rumah tangga kehilangan ratunya, kalau wanita juga sibuk bekerja, Anak-anak kehilangan pembina. Bukan salah remaja kalau mereka binal, bukan salah mereka kalau tidak bermoral, bukan hanya makanan, bukan hanya pakaian, yang lebih dibutuhkan cinta dan kasih sayang. Berikut adalah petikan sebuah syair dimana wanita memiliki peran penting baik dalam agama, negara maupun keluarga.
Namun keberadaan wanita di tengah-tengah masyarakat seolah menjadi salah satu problem yang tidak pernah tuntas didiskusikan, ia seolah menjadi isu sosial yang menarik sejak zaman dahulu hingga saat ini. Masalah itu tetap tidak akan pernah tuntas, selama wanita diperlakukan dan memperlakukan dirinya dengan menyalahi fitrah mereka, wanita dihinakan, dipuja bahkan menjadi tuntutan kesetaraan di segala bidang.

Berbagai istilah yang sering kita kenal dengan emansipasi, kesetaraan gender serta karirisasi seakan tidak pernah menemukan titik temu dengan hukum tuhan yang melindunginya, istilah-istilah tersebut seolah bayangan semu membebaskan wanita dari peran aslinya serta mengorbankanya di tengah pergolakan global.


Meski telah banyak tokoh wanita yang memperjuangkan pergerakan kewanitaan, namun pada mulanya Propaganda gerakan tersebut muncul dari pihak laki-laki dan hanya sedikit saja peran wanita. Awalnya gerakan emansipasi hanyalah seruan kepada pemerintah untuk memperhatikan kesempatan pendidikan akademis bagi kaum perempuan, namun sayannya seiring dengan banyaknya pengaruh serta stigma negatif yang menyertainya, gerakan emansipasi seolah menjadi gerakan yang kehilangan arah, hal itu tentunya sengaja di buat oleh beberapa kalangan yang ingin memanfaatkan peran wanita dengan memanfaatkan serta merubah orientasi gerakan tersebut menjadi suatu gerakan yang kebablasan.

Dalam sejarah perjalanan umat manusia, sikap ambivalen terhadap posisi wanita tidak pernah berakhir. Barat contohnya, hal ini merupakan provokasi dari kaum sekuler, pemahaman salah dari agama -agama ghairul Islam (non Islam) filsafat serta kepentingan politik.

Masih terngiang bagaimana barat mendeskriditkan posisi wanita, sebaimana yang dikatakan pendeta Paus Tertulianus misalnya, “Wanita merupakan pintu gerbang syeitan, masuk ke dalam diri laki-laki untuk merusak tatanan Ilahy dan mengotori wajah Tuhan yang ada pada laki-laki.” Sedangkan Paus Sustam mengatakan, “Wanita secara otomatis membawa kejahatan, malapetaka yang mempunyai daya tarik, bencana terhadap keluarga dan rumah tangga, kekasih yang merusak serta malapetaka yang menimbulkan kebingunggan”.

Belum lagi posisi wanita yang sering kali dimanfaatkan secara komersil di berbagi ruang lingkup khususnya media-massa. Sebagaimana Yvone Ridley seorang jurnalis Ingris yang kini menjadi seorang pejuang feminis Islam menungkapkan “mereka menampilkan citra wanita yang penuh glamour—sensual dan fisikal. Dengan kata lain, penuh sensasi, dan tentu nggak ketinggalan, bodi! (Emansipasi;Madu atau Racun), dalam ari kata Kesetaraan gender yang disuarakan barat hanyalah sebuah perbudakan wanita di balik eufisisme pemasaran.” Ujarnya.

Secra umum buku ini akan menungkap bagaimana posisi wanita diantara naungan prospektif Islam berdasarkan hak serta kewajibanya sebagai wanita, serta sangkalan terhadap stigma barat terhadap Islam yang seringkali di sebut sebagi “pengisolasian wanita” dan doktrin mereka yang seringkali memposisikan wanita dalam kesteraan gender yang kebablasan. Selamat membaca.
Read more...

Perspektif Mudharabah dan Aplikasinya dalam Perbankan Islam

Pendahuluan

Selain sebagai individu, manusia dilahirkan sebagai makhluk sosial "homo homini lupus". Adanya kebutuhan, produktifitas, dan penumpukan kekayaan merupakan salah satu bentuk fitrah dari prilaku sosial. Ekonomi, sebagai dispilin ilmu yang menata kegiatan sosial tersebut, memberikan aturan-aturan kongkrit agar terjalin suatu sistem yang diharapkan mampu menjamin kehidupan sosial yang mapan namun tetap dinamis.

Berbagai aliran dari setiap idiologi pemikiran, telah menawarkan konsep ekonominya masing-masing, sebagiaman diantaranya; Sosialis & Kapitalis yang kita kenal. Sayangnya, dari konsep ekonomi yang ada, masih banyak ketimpangan-ketimpangan sehingga tak jarang membuat jurang kesenjangan antara dua status sosial yang berpotensi menimbulkan banyak pertikaian.
Hal tersebut diakibatkan karena terbatasnya Ilmu pengetahuan serta sikap para ekonom selama ini yang masih didominasi oleh ekonomi positif (positive economics) serta mengabaikan aspek normatifnya.

Islam datang sebagai solusi, bukan hanya dalam bentuk ibadah ritual keagamaan, melainkan dalam bentuk ma'na yang lebih luas lagi, yaitu syariah—, yang dapat diaplikasi secara nyata sebagai ibadah sosial yang terambil dari intisari Islam itu sendiri yang terejawantahkan secara tegas dan gamblang dalam Al-Qur'an dan Assunah. Salah satunya Ekonomi syariah, sebagai salah satu solusi yang menekankan empat sifat yang sangat urgen untuk mengatur roda perekonomian dunia, antara lain: 1. Kesatuan (unity). 2. Keseimbangan (equilibrium). 3. Kebebasan (free will) 4. Tanggungjawab (responsibility), sehingga dengan emapt sifat yang sangat prinsipil ini diharapkan perbankan Islam mampu mewakili kegagalan konsep Konvensional dalam mengatur perekonomian dunia selama ini.
Salah satu bentuk produk unggulan dalam ekonomi Islam adalah format perbankan Islam yang sesuai dengan syariat, dimana Investasi Mudharabah merupakan salah satu bentuk produknya. Dalam pertemuan kali ini penulis mendapatkan tugas untuk menulis tentang kegiatan Mudharabah dalam perbankan Islam sekaligus mempersentasikanya. Harapan penulis, mudah-mudahan dengan tulisan sederhana ini, setiap pembaca dapat menambah pengetahuannamun agar tidak puas dengan tulisan yang ada, sehingga selalu terbuka untuk dapat mengkritisi, mengkaji ulang serta membaca dari sumber yang lainya.
Pengertian Mudharabah
Secara teknis, Mudharabah adalah akad atas dasar jalinan kerjasama antara (malik li Ra'sul Mal) sebagai pemilik saham yang menyediakan (100%) modal dengan pengelola yang memiliki potensi/kepiawean dalam bekerja, dalam bentuk perusahaan. Keuntungan usaha antara kedua belah pihak dibagi setiap akhir pekan sesuai dengan kontrak kerja yang disepakati. Sedangkan apabila mengalami kerugian, pemilik modal akan menanggung sepenuhnya. Sedang pengelola menanggung kerugian dalam bentuk lain; tenaga, waktu, managerial skill serta kehilangan nisbah keuntungan bagi hasil yang akan diperolehnya.
Akan tetapi berbeda halnya apabila ternyata kerugian tersebut akibat kelalian dan kecurangan si pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab penuh atas kerugian tersebut.
Dalil-dalil yang melegalkan kegiatan Investasi Mudharabah sebagaimana tercantum dalam Al-qur'an; (Q.S Al Muzzamil:73/20) dan (Q.S Albaqarah:2/198).
Kelegalan investasi Mudharabah dalam format perbankan Islam sebetulnya tak terlepas dari prinsip keadilan yang ditegakan antara pemilik saham dan pengelola, sekaligus menjauhi unsur ribawi sehingga menghasilkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak.
Kegiatan investasi Mudharabah ini, setidaknya berlangsung atas dasar kepercayaan, yaitu kepercayaan si pemilik modal (Sahaibul maal) yang kurang mampu mengelola suatu usaha untuk mengembangkan modalnya, kepada Mudharib sebagai interpeuner yang memiliki kepiawean dalam berbisnis atau usaha lain, dimana dia sendiri tidak memiliki modal untuk melakukan usahanya tersebut, maka dari itu terjalinlah suatu kerjasama antara kedua belah pihak dalam bentuk investasi Mudharabah sesuai dengan kontrak kerja yang disepakati.
Filosofi dan Sifat Investasi Bagi Hasil (Mudharabah)
Filsafat dasar dari Investasi Mudharabah adalah untuk menyatukan capital dengan labour (skill & enterpreneuship) yang selama ini terpisah dalam sistem konvensional karena memang sistem tersebut diciptakan untuk menunjang mereka yang memiliki capital moda.
Dalam Investasi Mudharabah akan tampak jelas sifat dan semanganat kebersamaan serta keadilaan. Hal ini terbukti melalui kebersamaa dalam menanggung kerugian yang dialami peroyek dan membagikan keuntungan yang membengkak di waktu ekonomi sedang Booming.
Ketentuan umum
• Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harus diserahkan secara tunai, dapat berupa uang atau barang yang dinyatakan nilainya dalam satuan uang. Apabila modal diserahkan secara bertahap, harus jelas tahapannya dan disepakati bersama.
• Hasil dan pengelola pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua cara: Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing) Perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing)
• Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah, seperti penyelewengan, kecurangan, dan penyalahgunaan dana.
• Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah. Jika nasabah cidera janji dengan sengaja misalnya tidak mau membayar kewajiban atau menunda membayar kewajiban, dapat dikenakan sanksi administrasi.
Macam-macam Syarat Mudharabah
Perlu ditekankan bahwa syarat sahnya Mudharabah terbagai atas dua bagian; Umum dan Khusus.
Pertama: Syarat Mudharabah yang bersifat Umum, yaitu yang berkaitan dengan kedua pelaku Akad dan shigah/lafad dalam poses ijab Qabul. Syarat ini bersifat umum karena memiliki persamaan sebagaimana syarat akad dalam Jual beli, Wikalah, dan Syarikat.
Kedua; Syarat sahnya Mudharabah yang bersifat khusus, syarat ini meliputi hal-hal yang berkaitan dengan Modal, pengelolaan dan Nisbah keuntungan.
Syarat sahnya Mudhorobah
Setiap akad dalam kerangka Syariat Islam memiliki rukun penyokong yang berdiri sesuai dengan ketentuan atau syarat yang harus dipenuhi oleh setiap pelakunya.

A. Rukun Mudharabah
1. Pelaku Akad; Pemilik modal (shahibul maal) dan pengelola (Mudharib)
2. Shighah; Lafadz (ijab qabul) yang menunjukan maksud adanya kesepakatan antara kedua belah pihak
3. Harta; objek Materi berupa uang atau barang yang akan dikelola dalam kesepakatan Mudharabah
4. Nisbah Keuntungan: Bagian hak milik bersama yang dihasilkan dari modal pertama
5. Pengelolaan: Yaitu cara kerja si pengelola untuk mengembangkan modal sehingga menghasilkan sebuah keuntungan.
B. Syarat sah Pengelolaan Investasi Mudharabah
1. Jenis /Cara kerja Pengelolaan ditentukan sepenuhnya oleh si pengusaha. Menurut Jumhur fuqaha, tidak sah hukumnya (akad Mudharaah dianggap fasid) apabila pemilik modal mencampuri urusan dalam menentukan atau mensyaratakan jenis pekerjaan tertentu bagi si pengelola.
2. Tidak disahkan bagi pemilik modal mempersempit ruang/gerak kerja si Pengelola. karena asal mudharabah itu sendiri bersifat muthlaq, akan tetapi dalam hal ini para fuqaha memperbolehkan pemilik saham untuk membuat ikatan dengan si pengelola, selama ikatan tersebut memberikan kemaslahatan dan tidak bermaksud mempersempit gerak ruang kerja si pengelola.
3. Jenis pengelolaan hanya terbatas pada perniagaan/ jual beli dan sejenisnya. Terdapat silang pendapat, diantara para ulama yang menyetujui persyaratan ini adalah; Malikiyah, Syafi'iah, dan sebagian Hanabilah. Sedangkan Hanafiah dan sebagian Hanabilah memperbolehkan pengelolaan selain dari perniagaan dan jual beli, selama hal tersebut dimaksudkan untuk kepentingan pengembangan modal sehingga menghasilkan keuntungan sepertihalnya indusrti pertanian, perikanan, propherti dan sebgainya.
C. Syarat-syarat Nisbah keuntungan
1. Adanya Transfaransi pembagian keuntungan yang diketahui serta disepakati oleh kedua belah pihak. Pembagian keuntungan sepatutnya disepakati semenjak permulaan kerjasama, sehingga kedua belah pihak saling mengetahui berapa bagian keuntungan yang akan diterima. Mudharabah dianggap rusak apabila ada pihak yang tidak mengetahui bagianya, karena hal tersebut berpotensi akan menimbulkan perselisiahan.
2. Pembagian jumlah keuntungan berdasarakn bilangan jumlah persentase (Setengah, sepertiga, sperempat dsb). Para fuqaha bersepakat bahwa tidak sah hukumnya menentukan keuntungan berdasarkan jumlah nominal, atau menentukan jumlah keuntungan untuk sepihak lalu sisanya untuk pihak yang lain.
3. Keuntungan harus semata-mata dibagikan untuk kedua belah pihak (sahibul maal dan pengusaha). Menurut sebagian Ulama, akad Mudharabah dianggap rusak apabila keuntungan dibagikan kepada pihak ketiga yang tidak ada sangkut pautnya dengan modal ataupun usaha walupun terdapat dalam akad kesepakatan.
4. Kedua belah pihak berhak memiliki keuntungan yang merata sesuai dengan kesepakatan. Para fuqaha bersepakat bahwa Mudharabah dianggap tidak sah apabila seluruh keuntungan hanya dibagiakan secara sepihak, akan tetapi mereka berbeda pendapat dalam menghukuminya; Apabila seluruh keuntungan dibagikan kepada pengelola secara sepihak maka akad Mudaharabah dianggap Qaradh. Sebaliknya apabila seluruh keuntungan diserahkan/dibagikan kepada pemilik modal maka akad mudharabah dianggap Idha'an. (mendelegasikan harta dengan perniagaan yang berlebih )
5. Kerugian ditanggung sepenuhnya oleh pemilik saham, selama tidak ada indikasi yang menyatakan bahwa kerugian tersebut diakibatkan oleh kelalian dan kecurangan si pengelola. Persyaratan tersebut disepakati agar; a. terjalin transfaransi kerjasama, b. melindungi akad kerjasama sebagai sumber hasil keuntungan, c. Kerugian ditanggung oleh kedua belah pihak sesuai dengan porsinya masing-masing, kerugian harta bagi pemilik modal dan kerugian tenaga, waktu, managerial skill serta kehilangan nisbah keuntungan bagi si pengelola.
D. Jenis-Jenis Mudharabah
Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis: Mudharabah Muthlaqah dan Mudharabah Muqayyadah.
a. Mudharabah Muthlaqah
Transaksi Mudharabah Muthlaqah adalah bentuk kerjasama dimana pihak bank atau sahibul maal memberikan hak otonom atas modal yang dioberikan kepada si pengelola tanpa memberikan ikatan atau batasan spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.
b. Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah Muqayyadah atau disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/specified mudharabah adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Si mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringakali mencerminkan kecenderungann umum si shahibul mal dalam memasuki jenis dunia usaha.
Proporsi Bank, Nasabah dan Investasi Mudarabah
Dalam aplikasinya, biasanya perbankan Islam menyediakan dua jenis tabungan mudharabah yang ditawarkan kepada para nasabahnya; Tabungan Mudharabah (TABAH) dan Deposito Mudharabah.
1. Tabungan Mudharabah (TABAH) adalah simpanan pihak ketiga di bank Islam yang penarikanya dapat dilakukan setiap saat atau beberapa kali sesuai dengan perjanjian. Dalam hal ini bank Islam bertindak sebagai Mudharib dan deposan sebagai shahibul al mal.
Bank sebagai Mudharib akan membagi keuntungan kepada Sahibul al mal sesuai dengan nisbah yang telah disetujui bersama. Pembagian keuntungan dapat dilakukan setiap bulan berdasarkan saldo minimal yang mengendap selama periode tersebut.
2. Deposito Mudharabah.
Deposito Mudharabah atau lebih tepatnya deposito investasi Mudharabah merupakan investasi melalui simpanan pihak ketiga (perseorangan atau badan hukum) yang penarikanya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu setelah jatuh tempo.
Imbalan dibagi dalam bentuk berbagi pendapatan (revenue sharing) atas penggunaan dana tersebut secara syariah dengan proporsi pembagian. Katakanlah 70 : 30, 70% untuk deposan dan 30% untuk bank.
Jangka waktu deposito Mudharabah berkisar antara 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan.
Contoh perhitungan deposito Mudharabah;
Tuan A menempatkan dana deposito Investasi Mudharabah di bank Islam sebsar Rp. 1.000.000,-. Jangka waktu 1 bulan, dan nisbah bagi hasil 70 % : 30 % (70 % untuk nasabah : 30% untuk bank). Diasumsikan total dana deposito investasi Mudharabah di Bank Islam Rp. 250 juta dan keuntungan yang diperoleh untuk dana deposito (profit distribution) sebesar Rp. 6.000.000,-. Maka pada saat jatuh tempo nasabah akan memperoleh dana bagi hasil:
Rp. 1.000.000,- ___________ × Rp.6.000.000 × 70 % = Rp 16.800,- Rp.250.000.00,- (sebelum pajak)

Manfaat Dan Risiko Investasi Mudharabah
1. Manfaat Investasi Mudharabah
a. Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
b. Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pandapatan atau hasil usaha bank,sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread
c. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan Cash flow atau arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
d. Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan karena keuntungan yang konkrit dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
e. Prinsip bagi hasil dalam Mudharabah atau Musyarakah ini berbeda dengan prinsip bunga tetap, dimana bank akan menagih penerima pembiayaan (nasabah) satu jumlah bunga tetap berapa pun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
2. Risiko Mudharabah
Risiko yang terdapat dalam Mudharabah, terutama pada penerapan dalam pembiayaan relatif tinggi. Diantaranya :
a. Side Streaming ; nasabah menggunakan dana itu bukan seperti yang disebut dalam kontrak.
b. Lalai dan kesalahan yang disengaja
c. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur
Kesimpulan
Salah satu kekauatan dalam perbankan Islam yang sekaligus merupakan ciri khas yang tidak dimiliki perbankan Konvensional salahsatunya terdapat pada prinsip bank Islam itu sendiri. Berangkat dari prinsip Kesatuan (unity), Keseimbangan (equilibrium), Kebebasan (free will), Tanggungjawab (responsibility), perbankan Islam selalu maju dengan produk-produk perbankan yang memiliki nilai jual bagi kemapaman dan memajukan perekonomian rakyat yang lebih mandiri atas dasar keadilan yang merata, serta sejauh mungkin menghindari unsure-unsur ribawi yang berbahaya.
Mudharabah merupaakan konsep perbankan Islam yang telah sekian lama dijalankan oleh baginda Nabi dalam memajukan perekonomian dalam bentuk bisnis perniagaan yang bersih dan jauh dari unsur ribawi, sehingga menjadi sauri tauladan bagi sekian umatnya.
Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis: Mudharabah Muthlaqah dan Mudharabah Muqayyadah.
• Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal harus diserahkan secara tunai, dapat berupa uang atau barang yang dinyatakan nilainya dalam satuan uang.
• Hasil dan pengelola pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua cara: Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing) Perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing)
• Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang disepakati.
• Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah.
Daftara Pustaka;
1. Perwataatmadja Karnaen, Antonio Muahmmad Syafi'I, 1992, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, Edisi pertama.
2. Zuhaili Wahbah Prof DR., 2002, Al-Mua'malat Al -Maliyah Al-muasarah, Dar el Fikr Pres, Beirut, Edisi Pertama.
3. Abu Zaid Abdul Mun'im DR., 2000, Nahwu thatwiru nidham al mudharabah fii al masharif al-Islami , The International institute of Islamic thought press U.S.A. Edisi Pertama.
4. Jusmaliani, 2005, Kebijakan Ekonomi Dalam Islam, Kreasi Wacana, Yogyakarta. Edisi Pertama.
5. http://efullhanggono.blogspot.com/2009/02/konsep-jaminan-dalam-akad-mudharabah.htmlEfUllhanggono.
6. http://imanph.wordpress.com/2009/01/20/tinjauan-mengenai-mudharabah-dalam-perbankan-islam-pebruari-2004/
Read more...