Sunday, January 23, 2011

Dalam Kain Syariat

Dalam tatanan yurisprudensi Islam, Fiqh merupakan disiplin ilmu Islam yang sangat vital. Karena itu, kita tak mudah dengan hanya menyederhanakan ilmu tersebut sebagai tata etika yang terbatas pada tata cara sholat, tayamum dsb. Namun lebih dari itu, ia (ilmu Fiqih) mencakup segala ilmu, termasuk di dalamnya akidah, akhlaq, ibadah dan muamalah sebagaimana yang terdapat dalam dalam QS5:78. Maka, dalam hal ini Imam Abu Hanifah menamai ilmu tauhid atau ilmu kalam dengan fiqih akbar.

Akan tetapi, dalam kegiatan empiriknya, ilmu fiqih juga ternyata tidak bisa berdiri sendiri terutama ketika dihadapkan dengan zaman anyar. Terutama saat disandingkan dengan potsmodern serta seiring berkembangnya zaman. Adanya staganasi situasi pemikiran ummat serta fragmentasi kultur budaya yang selalu berubah-ubah, yang justru sebelumnya jauh dari jangkauan nalar Fiqhiyah, sehingga mau tidak mau hal tersebut menuntut kaedah/perangkat lain yang mampu menopang metode aplikasi kaidah Fiqhiyah, sehingga mampu "beradaptasi", bertahan hingga akhir zaman, sebagimana cita-cita yang terkandung Al-Qur’an dan keterangan Hadist.


Adapun perangkat yang dimaksud, terdiri dari tiga bagian utama. Pertama; Qiyas Ushul Fiqh (sebagai cikal-bakal disiplin ilmu tersebut), kedua; Qowaidul Fiqhiyah, ketiga; Maqasidh as-Syariah.

Seiring pekembangan zaman, perubahan watak, sifat dan frgamentasi sesorang, banyak diantaranya yang masih menyalah arti-aplikasikan kaidah-kaidah tersebut dalam ruang lingkup yurisprudensi Islam, utamanya dalam Qiyas serta Ushul Fiqh. Sementara itu, mereka menjadikan kedua perangkat tersebut sebagai fasislitator untuk melegalkan hukum-hukum yang sudah tetap (tsawabit). Hal ini bisa terjadi akibat kesengajaan (menghakimi hukum secara parsial atau bahkan mensalah/bebas tafsirkan), atau memang ketidak sengajaan akibat ketidak mampuan hakim dalam memahami bahasa secara baik dan benar. Saya kira banyak contoh dalam berbagai kasus seperti ini, pembaca tentunya lebih tau dan kritis.

Sebagai contoh penulis sedikit menukil tulisan Ulil dalam buletin Afkar, dia menulis dengan menqiyaskan “Islam itu sebagai kulkas dan Yurisprudensi itu diistilahkan sebagai bahan-bahan makanan/barang yang ada di dalamnya” ungkapnya.

Dalam keteranganya, dia menggambarkan, dalam kulkas terdiri dari berbagai bahan atau barang-barang sesuai tempat penyimpanannya yang berlaku, ada Plizer yang khusus untuk membuat atau mengawetkan es, ada kotak khusus buat pengawet sayuran, ada juga buat botol minuman dll yang sekdar buat pendingin saja. Nah, dari kiasan diatas, dia menggambarkan bahwa seolah-olah dalam “kulkas” yang bernam Islam terdapat bahan makanan (syariat) yang sudah tidak bisa diawetkan lagi, alasanya karena makanan tersebut akan membusuk dan sangat tidak baik bila dibiarkan berlarut-larut bahkan mungkin dia harus diganti.

Sebagai contoh; ketika dia menggambarkan hukum minum khomer. Menurutnya hukum meminum khomer jelas haramnya, walaupun pengharamanya tidak seperti hukum zina, sebagaiaman meminum khamar pernah dibolehkan pada masa perkembangan Islam di Mekah, lalu berangsur dengan membatsi pelegalanya di luar waktu sholat, hingga turun ayat selanjutnya yang mengharamkan meminum khamar secara muthlak. Yang jadi permasalahan, lantas bagaimana hukum meminum khomer ketika sedang berada di pegunungan yang amat dingin seperti daerah tibet dan himalaya, dimana khomer berpungsi sekali untuk menghangatkan tubuh dengan alasan keadaan manuasia secara biologis karena tidak bisa menahan rasa dingin yang sangat kuat ??!

Contoh selanjutnya, cadar atau jilbab. Dia menganggap jika budaya berjilbab dan bercadar merupakan produk budaya yang diadopsi dari bangsa Arab atau timur tengah. Artinya, hukum memakai jilbab merupakan hukum yang kadaluarsa, karena secara tidak langsung, aturan tersebut merupakan suatu produk budaya yang teradopsi secara “legal” oleh Islam, lalu buat apa diawetkan lagi dalam lemasan syariat kalo toh hal itu hanya produk budaya dan bertentangan dengan khalayak modernisasi. Apa tidak mungkin bila misalkan Rasul bertempat/turun di eropa yang dominan menggunakan topi sebagai alat penutup kepala lalu menjadikanya topi sebagai "jilbab" ummatnya ?????!.tuturnya.

Saya kira ungkapan-ungkapan yang tak bermutu ini cukup banyak kita temui diberbagai ranah pemikiran Muslim, dan anehnya lagi termasuk salah satun yang banyak dihgandrungi dan disebar luaskan diberbagai Universitas-universitas Islam di Indonesia.


Alasan Yang Tidak Hormat

Adanya usaha-uaha untuk merevolusi hukum-hukum Islam hingga ke dasar tanpa memperhatikan Tawabit dan muthagayirat sebagaimana yang terdapat dalam kaedah Fiqhiyah, seakan-akan menjadi sebuah keniscayaan, karena menurut mereka termasuk salah satunya para Islam Fobia termasuk juga diantaranya para teolog dan sosialis barat; mengungkapkan bahwa diantara kemunduran Islam pada aba modern ini diakibatkan berbagai hukum yang tidak mampu beradaptasi atau lebih halusnya tidak relepan lagi dalam kegiatan empiriknya diabad modern ini, dimana spirit globalisasi masyarakat yang mau tidak mau terus melaju jauh meninggalkan zaman batu.

Artinya hukum yang masih utuh itu, sudak tak layak pakai lagi, mereka mengira kita terlalu terbujur kaku kepada dogma dan trsdisi yang tak terbuka, menganggap kita terlalu inklusif dan terkekang hukum agama.

Dari beberapa pernyataan diatas yang cukup menggelitik ini, tentunya kita tidak bisa hanya sekedar menutup sebelah mata. Mengartikan anlisa mereka salah semua atau sebaliknya menganggap pernyataan meraka benar adanya, tentu adalah suatu presesi yang salah besar.

Kita harus mengakui ketika Afrika, timur tengah, atau Asia selatan yang dominan berpenduduk Muslim merupakan bangsa yang terbelakang dibanding Eropa dan Amerika dalam segala bidang, baik ekonomi politik, sains dan teknologi adalah kenyataan. Walaupun sering kali kita berkilah menyebut-nyebut jika Islampun (masyarakat muslim) lebih tepatnya, pernah juga mengalami kejayaanan saat masa ke-emas dahulu.
Lebih jelasnya ini adalah tantangan bagi kita sebagai pelajar yang getol bergelut dalam tatanan akadmis yang kayak Ilmu serta kajian Islam, yang mau tidak mau beberapa tahun kemudian kita akan dinanti-nantikan sebgai pucuk dan tunas Da'wah di bawah bayang-bayang globalisasi yang tak mengenal jarak dan waktu. Satu sama lain akan cepat bersinggungan baik agama, idiologi serta kultur budaya. Sebagaimana diramalkan Samuel Hutington dalam magum opusnya Clas of Civilization.

Kita memang tak bisa membendung budaya Amerika masuk ke Indonesia, bukan tak mungkin budaya Eropa masuk ke desa-desa. Hal ini merupakan sebuah keniscayaan dan kepastian yang tidak perlu kita salah-salahkan lagi, karena ini adalah produk globalisasi dalam ranah kebebasan sosio kultur dan politik yang tanggung meng-universal, dimana satu sama lain saling berebut pengaruh baik budaya, idiologi, bahkan agama, politik juga hasil produksi.

Tugas kita adalah sama-sama berjuang memajukan bangsa dan agama, tentunya melalui ilmu dan pendidikan yang cukup dan bermanfaat. Tentu kita akan dianggap bodoh dan culun jika peperangan idiologi lalu dilawan dengan senjata, kita akan dianggap primitif jika melawan Idiologi dengan otot besi, dikarenakan segala sesutau ada tempatnya, paling tidak, idiologi tentunya dengan idiologi, ilmu dengan ilmu, siasat dengan siasat dsbg

Adanya usaha untuk merevolusi Syariat dan wawasan Islam secara mebabi buta sebagaiman yang ditekan-kan oleh banyak kalangan, terutama orinetalis barat dan para pemuja moderenisasi, tak lain merupakan sebuah upaya dalam mendangkalakan pondasi ummat, sehingga ummat mearsa kebingungan dan meninggaklakn jauh-jauh tradisi dan aturan-aturan yang berhubungan dengan Islam Hingga Islam tinggalah kata, tinggalah situs yang tak berjejak sebagaiaman cita-cita mereka. Namun dilain hal, upaya mereka adalah sebagai bentuk dorongan untuk pendewasaan ummat ke arah yang lebih segar lagi agar tidak terlarut dalam tidur panjang yang melelahkan.

Maka dengan itu mari kita sama-sama merenung kembali, membangun kembali sepirit berbudaya dan beragama yang lama telah merapuh, sebagaiaman Rasulullah telah mewanti-wantikannya semenjak dahulu kala, dimana beliau menggambarakan bahwa “Ummat ini (syariat ini) bagaikan sehelai kain yang terdiri dari beberapa benang, lalu kain tersebut akan merapuh dan benangnya jatuh satu perastu”. Wallahua’lam

Read more...

Bendera

Biar saja ku tak seindah matahari
Tapi selalu ku coba tuk menghangatkanmu
Biar saja ku tak setegar batu karang
Tapi selalu ku coba tuk melindungimu

Biar saja ku tak seharum bunga mawar
Tapi selalu ku coba tuk mengharumkanmu
Biar saja ku tak seelok langit sore
Tapi selalu ku coba tuk mengindahkanmu

Ku pertahankan kau demi kehormatan bangsaku
Ku pertahankan kau demi tumpah darah
Semua pahlawan-pahlawanku

* Merah putih teruslah kau berkibar
Di ujung tiang tertinggi di indonesiaku ini
Merah putih teruslah kau berkibar
Di ujung tiang tertinggi di indonesiaku ini
Merah putih teruslah kau berkibar
Ku akan selalu menjagamu

By: Coklat
Read more...

Thursday, January 20, 2011

Memanusiakan Manusia


Manusia merupakan jenis makhluk Tuhan yang paling sempurna. Selain bentuk fisik, manusia dianugrahi kelebihan akal yang tidak dimiliki oleh satupun mahkluk lainya. Sehingga dengan kesempurnaan itulah, Allah mengamanati manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Dengan bekal akal, Allah bebankan manusia taklif (kewajiban-kewajiban) untuk dita'ati. Sebaliknya, dengan akalpula, manusia diberikan hak “otonom” untuk memilih jalur hidup¬ baik-buruk, iman-kufur serta pilihan hidup lainya.


Namun, akal sendiri keadaanya terbatas, tidak mutlak. Bisa salah, bisa juga benar. Untuk itu Allah mengutus para Nabi.... membawakan wahyu sebagai petunjuk dan suritauladan agar manusia senantiasa diingatkan akal dan jiwanya.
Sebaliknya, wahyu tanpa akal tidaklah tepat. Oleh karena itu, tidaklah semata-mata Allah membebani seorang hambanya, kecuali setelah matang akal dan jiwanya “baligh”.
Pencarian Jati Diri Manusia

Sejarah manusia selalu diwarnai dengan proses pencarian jati diri, tujuan hidup serta substansi dan nilai-inti kehidupanya. Ibarat tubuh yang membutuhkan makanan, minuman serta vitamin sebagai nutrisi fisik, maka ruhanipun membutuhkan nutrisi jiwa sebagai pengisi ruang hatinya “spiritual”. Hal tersebut amatlah lazim, karena dalam diri manusia terdapat nilai fitriah dan kecenderungan yang saling melengkapi, dan tak bisa dipisahkan.

Jauh-Jauh hari sebelum Karl Marx dengan pendapatnya “manusia disetir dengan perutnya (ekonomi)” atau Sigmund Frued “manusia didorong oleh keinginan sexualnya”. Islam, dengan motivasi keagamaan justru telah hadir semenjak 1400 tahun silam dengan methodenya sendiri, bagaiamana mengajarkan manusia untuk dapat menganali Penciptanya, mengenali diri dan jiwanya serta memahami kecenderuangan-kecenderungan dan berbagai potensi yang dimilikinya.

Setidaknya ada tiga metode pendekatan yang dikenal dalam Islam,--- mengenalkan manusia dengan jati diri, dan nilai inti kehidupanya.
Pertama; Pendekatan wahyu.


Melalaui pendekatan wahyu, dengan mengambil dalil-dalil tentang tujuan-tujuan hidup manusia, ajakan untuk berfikir serta petunjuk-petunjuk tentang kecenderuangan serta sifat-sifat universal manusia. Seperti kecenderuangan manausia terhadap materi, kebutuhan sex, tempat, waktu, rasa takut terhadap mati, lapar, sedih, sepi, damai, godaan syaithan, syahwat dan sebagainya.

Islam samasekali tidak mengingkari nilai fitriah serta kecenderungan-kecenderungan yang dimiliki oleh manusia tersebut. Baik itu kecenderunag terhadap materi, terhadap lawan jenis dan sebagainya. Sebaliknya, peranan wahyu justru hadir dengan memberikan prinsip dan batasan-aturan serta membimbing manusia agar dapat memahami arti kehidupan sesungguhnya, bahwa substansi hidup bukanlah terletak pada nilai materi atau duniyawinya semata, akan tetapi pada penyerahan hati, jiwa dan fisiknya terhadap Maha Pencipta.
Melalaui pendekatan wahyu, Islam memuliakan manusia, agar manusia tak sekecil harga materinya atau seharga dengan syahwat dan nafsunya. Dengan demikian, Islam mamapu menjaga nilai-tatanan serta potensi manusia dengan sebijak-bijaknya.

Kedua; Pendekatan Falsafi
Berbagai masalah kejiwaan telah dibahas melalui pandangan falsafi, yang bertolak berdasarkan hasil pemikiran para filusuf Yunani kuno. Hal tersebut ditandai dengan adanya pendapat-pendapat Aristoteles dan Plato sebagai pioner filusus Yunani kuno yang telah banyak mengupas pelbagai persoalan jiwa manusia dengan sangat logis dan terperinci.

Salahsatunya sebagaiaman tertuang dalam kitab Aristoteles De Anima (tentang hakikat jiwa dan aneka ragam kekuatannya) dan Parva Naturalia (risalah-risalah pendek mengenai persepsi inderawi dan hubungannya dengan jiwa, daya hapal dan ingatan, hakikat tidur dan mimpi, firasat dan ramalan). kemudian Plato ialah filsuf dengan pendapatnya mengenai 3 aspek jiwa manusia: rasional (berdaya pikir), animal (hewani), dan vegetatif (berdaya tumbuh).

Kemudian sekitar abad 10 Masehi, terjadi penterjemahan karya-karya filosof Yunani kuno kedalam bahasa Arab secara massif. Hal tersebut ditandai dengan lahirnya para filusuf Islam,--yang hampir semua karangan mereka tentang jiwa, banyak mengadovsi dan bertolak dari pandangan Aristoteles.

Sebut saja diantaranya; Ibnu Rusyd, yang menurutnya, jiwa adalah penyebab kehidupan. Tanpa jiwa, manusia tak berarti apa-apa. Selanjutnya, Ibnu Sina menegaskan pentingnya penyucian jiwa dengan ibadah seperti shalat dan puasa. Sebab, menurutnya, jiwa yang bersih akan mampu menangkap sinyal-sinyal dari alam ghaib yang dipancarkan melalui Akal Suci (al-‘aql al-qudsi).

Ketiga ialah pendekatan Sufistik
Penjelasan tentang jiwa manusia didasarkan pada pengalaman spiritual ahli-ahli tasawuf. Dibandingkan dengan teori para filsuf yang terkesan sangat teoritis, apa yang ditawarkan para sufi lebih praktis dan eksperimental. Menurut Abu Thalib al-Makki (w. 996), jiwa manusia sebagaimana tubuhnya membutuhkan makanan yang baik, bersih, dan bergizi. Jiwa yang tidak cukup makan pasti lemah dan mudah sakit. Semua itu diterangkan beliau dalam kitab Qut al-Qulub (‘nutrisi hati’).

Tokoh penting lainnya ialah Imam al-Ghazali (w. 1111 M) yang menguraikan dengan sangat memukau aneka penyakit jiwa dan metode penyembuhannya. Penyakit yang diderita manusia ada dua jenis, ujarnya, fisik dan psikis. Bagaimana cara mengobati penyakit-penyakit jiwa seperti egoisme, serakah, phobia, iri hati, depresi, waswas, dsb beliau jelaskan dalam kitabnya yang berjudul Ihya’ ‘Ulumiddin.

Kesimpulan
Pandangan tentang jiwa dan kemanusiaan tak bisa hanya dipahami secara parsial. Sebagaiamana pandangan Behaviorisme yang memandang manusia seolah-olah sebagai makhluk primitive yang tingkah lakunya terbentuk dari pembiasaan-pembiasaan lingkungan, meniru orang lain dsb. Atau Humanistik, yang memandang manusia sebagai makhluk yang bebas, yang bisa menentukan pilihannya sendiri. Hidup suka-suka yang penting eksistensi.

Lebih dari itu, kemanusian haruslah dipahami secara holistik. Manusia tak cukup dipelajari dengan sekedar memperhatikan gejala-gejala fisik sebagai pengaruh kehidupan parsialnya semata, melainkan sebagai bentuk pengabdian terhadap lingkungan sosial dan spiritualnya, sekaligus. Hal tersebut, erat kaitanya dengan substansi penciptaan manusia itu sendiri, yang tak lain untuk mengabdi dan beribadah kepada Penciptanya, “Dan Aku tidak Menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (Azd-dzariyat: 56).
Wallahu’a’lam

Read more...