Dalam tatanan yurisprudensi Islam, Fiqh merupakan disiplin ilmu Islam yang sangat vital. Karena itu, kita tak mudah dengan hanya menyederhanakan ilmu tersebut sebagai tata etika yang terbatas pada tata cara sholat, tayamum dsb. Namun lebih dari itu, ia (ilmu Fiqih) mencakup segala ilmu, termasuk di dalamnya akidah, akhlaq, ibadah dan muamalah sebagaimana yang terdapat dalam dalam QS5:78.
Maka, dalam hal ini Imam Abu Hanifah menamai ilmu tauhid atau ilmu kalam dengan fiqih akbar.
Akan tetapi, dalam kegiatan empiriknya, ilmu fiqih juga ternyata tidak bisa berdiri sendiri terutama ketika dihadapkan dengan zaman anyar. Terutama saat disandingkan dengan potsmodern serta seiring berkembangnya zaman. Adanya staganasi situasi pemikiran ummat serta fragmentasi kultur budaya yang selalu berubah-ubah, yang justru sebelumnya jauh dari jangkauan nalar Fiqhiyah, sehingga mau tidak mau hal tersebut menuntut kaedah/perangkat lain yang mampu menopang metode aplikasi kaidah Fiqhiyah, sehingga mampu "beradaptasi", bertahan hingga akhir zaman, sebagimana cita-cita yang terkandung Al-Qur’an dan keterangan Hadist.
Adapun perangkat yang dimaksud, terdiri dari tiga bagian utama. Pertama; Qiyas Ushul Fiqh (sebagai cikal-bakal disiplin ilmu tersebut), kedua; Qowaidul Fiqhiyah, ketiga; Maqasidh as-Syariah.
Seiring pekembangan zaman, perubahan watak, sifat dan frgamentasi sesorang, banyak diantaranya yang masih menyalah arti-aplikasikan kaidah-kaidah tersebut dalam ruang lingkup yurisprudensi Islam, utamanya dalam Qiyas serta Ushul Fiqh. Sementara itu, mereka menjadikan kedua perangkat tersebut sebagai fasislitator untuk melegalkan hukum-hukum yang sudah tetap (tsawabit). Hal ini bisa terjadi akibat kesengajaan (menghakimi hukum secara parsial atau bahkan mensalah/bebas tafsirkan), atau memang ketidak sengajaan akibat ketidak mampuan hakim dalam memahami bahasa secara baik dan benar. Saya kira banyak contoh dalam berbagai kasus seperti ini, pembaca tentunya lebih tau dan kritis.
Sebagai contoh penulis sedikit menukil tulisan Ulil dalam buletin Afkar, dia menulis dengan menqiyaskan “Islam itu sebagai kulkas dan Yurisprudensi itu diistilahkan sebagai bahan-bahan makanan/barang yang ada di dalamnya” ungkapnya.
Dalam keteranganya, dia menggambarkan, dalam kulkas terdiri dari berbagai bahan atau barang-barang sesuai tempat penyimpanannya yang berlaku, ada Plizer yang khusus untuk membuat atau mengawetkan es, ada kotak khusus buat pengawet sayuran, ada juga buat botol minuman dll yang sekdar buat pendingin saja. Nah, dari kiasan diatas, dia menggambarkan bahwa seolah-olah dalam “kulkas” yang bernam Islam terdapat bahan makanan (syariat) yang sudah tidak bisa diawetkan lagi, alasanya karena makanan tersebut akan membusuk dan sangat tidak baik bila dibiarkan berlarut-larut bahkan mungkin dia harus diganti.
Sebagai contoh; ketika dia menggambarkan hukum minum khomer. Menurutnya hukum meminum khomer jelas haramnya, walaupun pengharamanya tidak seperti hukum zina, sebagaiaman meminum khamar pernah dibolehkan pada masa perkembangan Islam di Mekah, lalu berangsur dengan membatsi pelegalanya di luar waktu sholat, hingga turun ayat selanjutnya yang mengharamkan meminum khamar secara muthlak. Yang jadi permasalahan, lantas bagaimana hukum meminum khomer ketika sedang berada di pegunungan yang amat dingin seperti daerah tibet dan himalaya, dimana khomer berpungsi sekali untuk menghangatkan tubuh dengan alasan keadaan manuasia secara biologis karena tidak bisa menahan rasa dingin yang sangat kuat ??!
Contoh selanjutnya, cadar atau jilbab. Dia menganggap jika budaya berjilbab dan bercadar merupakan produk budaya yang diadopsi dari bangsa Arab atau timur tengah. Artinya, hukum memakai jilbab merupakan hukum yang kadaluarsa, karena secara tidak langsung, aturan tersebut merupakan suatu produk budaya yang teradopsi secara “legal” oleh Islam, lalu buat apa diawetkan lagi dalam lemasan syariat kalo toh hal itu hanya produk budaya dan bertentangan dengan khalayak modernisasi. Apa tidak mungkin bila misalkan Rasul bertempat/turun di eropa yang dominan menggunakan topi sebagai alat penutup kepala lalu menjadikanya topi sebagai "jilbab" ummatnya ?????!.tuturnya.
Saya kira ungkapan-ungkapan yang tak bermutu ini cukup banyak kita temui diberbagai ranah pemikiran Muslim, dan anehnya lagi termasuk salah satun yang banyak dihgandrungi dan disebar luaskan diberbagai Universitas-universitas Islam di Indonesia.
Alasan Yang Tidak Hormat
Adanya usaha-uaha untuk merevolusi hukum-hukum Islam hingga ke dasar tanpa memperhatikan Tawabit dan muthagayirat sebagaimana yang terdapat dalam kaedah Fiqhiyah, seakan-akan menjadi sebuah keniscayaan, karena menurut mereka termasuk salah satunya para Islam Fobia termasuk juga diantaranya para teolog dan sosialis barat; mengungkapkan bahwa diantara kemunduran Islam pada aba modern ini diakibatkan berbagai hukum yang tidak mampu beradaptasi atau lebih halusnya tidak relepan lagi dalam kegiatan empiriknya diabad modern ini, dimana spirit globalisasi masyarakat yang mau tidak mau terus melaju jauh meninggalkan zaman batu.
Artinya hukum yang masih utuh itu, sudak tak layak pakai lagi, mereka mengira kita terlalu terbujur kaku kepada dogma dan trsdisi yang tak terbuka, menganggap kita terlalu inklusif dan terkekang hukum agama.
Dari beberapa pernyataan diatas yang cukup menggelitik ini, tentunya kita tidak bisa hanya sekedar menutup sebelah mata. Mengartikan anlisa mereka salah semua atau sebaliknya menganggap pernyataan meraka benar adanya, tentu adalah suatu presesi yang salah besar.
Kita harus mengakui ketika Afrika, timur tengah, atau Asia selatan yang dominan berpenduduk Muslim merupakan bangsa yang terbelakang dibanding Eropa dan Amerika dalam segala bidang, baik ekonomi politik, sains dan teknologi adalah kenyataan. Walaupun sering kali kita berkilah menyebut-nyebut jika Islampun (masyarakat muslim) lebih tepatnya, pernah juga mengalami kejayaanan saat masa ke-emas dahulu.
Lebih jelasnya ini adalah tantangan bagi kita sebagai pelajar yang getol bergelut dalam tatanan akadmis yang kayak Ilmu serta kajian Islam, yang mau tidak mau beberapa tahun kemudian kita akan dinanti-nantikan sebgai pucuk dan tunas Da'wah di bawah bayang-bayang globalisasi yang tak mengenal jarak dan waktu. Satu sama lain akan cepat bersinggungan baik agama, idiologi serta kultur budaya. Sebagaimana diramalkan Samuel Hutington dalam magum opusnya Clas of Civilization.
Kita memang tak bisa membendung budaya Amerika masuk ke Indonesia, bukan tak mungkin budaya Eropa masuk ke desa-desa. Hal ini merupakan sebuah keniscayaan dan kepastian yang tidak perlu kita salah-salahkan lagi, karena ini adalah produk globalisasi dalam ranah kebebasan sosio kultur dan politik yang tanggung meng-universal, dimana satu sama lain saling berebut pengaruh baik budaya, idiologi, bahkan agama, politik juga hasil produksi.
Tugas kita adalah sama-sama berjuang memajukan bangsa dan agama, tentunya melalui ilmu dan pendidikan yang cukup dan bermanfaat. Tentu kita akan dianggap bodoh dan culun jika peperangan idiologi lalu dilawan dengan senjata, kita akan dianggap primitif jika melawan Idiologi dengan otot besi, dikarenakan segala sesutau ada tempatnya, paling tidak, idiologi tentunya dengan idiologi, ilmu dengan ilmu, siasat dengan siasat dsbg
Adanya usaha untuk merevolusi Syariat dan wawasan Islam secara mebabi buta sebagaiman yang ditekan-kan oleh banyak kalangan, terutama orinetalis barat dan para pemuja moderenisasi, tak lain merupakan sebuah upaya dalam mendangkalakan pondasi ummat, sehingga ummat mearsa kebingungan dan meninggaklakn jauh-jauh tradisi dan aturan-aturan yang berhubungan dengan Islam Hingga Islam tinggalah kata, tinggalah situs yang tak berjejak sebagaiaman cita-cita mereka. Namun dilain hal, upaya mereka adalah sebagai bentuk dorongan untuk pendewasaan ummat ke arah yang lebih segar lagi agar tidak terlarut dalam tidur panjang yang melelahkan.
Maka dengan itu mari kita sama-sama merenung kembali, membangun kembali sepirit berbudaya dan beragama yang lama telah merapuh, sebagaiaman Rasulullah telah mewanti-wantikannya semenjak dahulu kala, dimana beliau menggambarakan bahwa “Ummat ini (syariat ini) bagaikan sehelai kain yang terdiri dari beberapa benang, lalu kain tersebut akan merapuh dan benangnya jatuh satu perastu”. Wallahua’lam
Akan tetapi, dalam kegiatan empiriknya, ilmu fiqih juga ternyata tidak bisa berdiri sendiri terutama ketika dihadapkan dengan zaman anyar. Terutama saat disandingkan dengan potsmodern serta seiring berkembangnya zaman. Adanya staganasi situasi pemikiran ummat serta fragmentasi kultur budaya yang selalu berubah-ubah, yang justru sebelumnya jauh dari jangkauan nalar Fiqhiyah, sehingga mau tidak mau hal tersebut menuntut kaedah/perangkat lain yang mampu menopang metode aplikasi kaidah Fiqhiyah, sehingga mampu "beradaptasi", bertahan hingga akhir zaman, sebagimana cita-cita yang terkandung Al-Qur’an dan keterangan Hadist.
Adapun perangkat yang dimaksud, terdiri dari tiga bagian utama. Pertama; Qiyas Ushul Fiqh (sebagai cikal-bakal disiplin ilmu tersebut), kedua; Qowaidul Fiqhiyah, ketiga; Maqasidh as-Syariah.
Seiring pekembangan zaman, perubahan watak, sifat dan frgamentasi sesorang, banyak diantaranya yang masih menyalah arti-aplikasikan kaidah-kaidah tersebut dalam ruang lingkup yurisprudensi Islam, utamanya dalam Qiyas serta Ushul Fiqh. Sementara itu, mereka menjadikan kedua perangkat tersebut sebagai fasislitator untuk melegalkan hukum-hukum yang sudah tetap (tsawabit). Hal ini bisa terjadi akibat kesengajaan (menghakimi hukum secara parsial atau bahkan mensalah/bebas tafsirkan), atau memang ketidak sengajaan akibat ketidak mampuan hakim dalam memahami bahasa secara baik dan benar. Saya kira banyak contoh dalam berbagai kasus seperti ini, pembaca tentunya lebih tau dan kritis.
Sebagai contoh penulis sedikit menukil tulisan Ulil dalam buletin Afkar, dia menulis dengan menqiyaskan “Islam itu sebagai kulkas dan Yurisprudensi itu diistilahkan sebagai bahan-bahan makanan/barang yang ada di dalamnya” ungkapnya.
Dalam keteranganya, dia menggambarkan, dalam kulkas terdiri dari berbagai bahan atau barang-barang sesuai tempat penyimpanannya yang berlaku, ada Plizer yang khusus untuk membuat atau mengawetkan es, ada kotak khusus buat pengawet sayuran, ada juga buat botol minuman dll yang sekdar buat pendingin saja. Nah, dari kiasan diatas, dia menggambarkan bahwa seolah-olah dalam “kulkas” yang bernam Islam terdapat bahan makanan (syariat) yang sudah tidak bisa diawetkan lagi, alasanya karena makanan tersebut akan membusuk dan sangat tidak baik bila dibiarkan berlarut-larut bahkan mungkin dia harus diganti.
Sebagai contoh; ketika dia menggambarkan hukum minum khomer. Menurutnya hukum meminum khomer jelas haramnya, walaupun pengharamanya tidak seperti hukum zina, sebagaiaman meminum khamar pernah dibolehkan pada masa perkembangan Islam di Mekah, lalu berangsur dengan membatsi pelegalanya di luar waktu sholat, hingga turun ayat selanjutnya yang mengharamkan meminum khamar secara muthlak. Yang jadi permasalahan, lantas bagaimana hukum meminum khomer ketika sedang berada di pegunungan yang amat dingin seperti daerah tibet dan himalaya, dimana khomer berpungsi sekali untuk menghangatkan tubuh dengan alasan keadaan manuasia secara biologis karena tidak bisa menahan rasa dingin yang sangat kuat ??!
Contoh selanjutnya, cadar atau jilbab. Dia menganggap jika budaya berjilbab dan bercadar merupakan produk budaya yang diadopsi dari bangsa Arab atau timur tengah. Artinya, hukum memakai jilbab merupakan hukum yang kadaluarsa, karena secara tidak langsung, aturan tersebut merupakan suatu produk budaya yang teradopsi secara “legal” oleh Islam, lalu buat apa diawetkan lagi dalam lemasan syariat kalo toh hal itu hanya produk budaya dan bertentangan dengan khalayak modernisasi. Apa tidak mungkin bila misalkan Rasul bertempat/turun di eropa yang dominan menggunakan topi sebagai alat penutup kepala lalu menjadikanya topi sebagai "jilbab" ummatnya ?????!.tuturnya.
Saya kira ungkapan-ungkapan yang tak bermutu ini cukup banyak kita temui diberbagai ranah pemikiran Muslim, dan anehnya lagi termasuk salah satun yang banyak dihgandrungi dan disebar luaskan diberbagai Universitas-universitas Islam di Indonesia.
Alasan Yang Tidak Hormat
Adanya usaha-uaha untuk merevolusi hukum-hukum Islam hingga ke dasar tanpa memperhatikan Tawabit dan muthagayirat sebagaimana yang terdapat dalam kaedah Fiqhiyah, seakan-akan menjadi sebuah keniscayaan, karena menurut mereka termasuk salah satunya para Islam Fobia termasuk juga diantaranya para teolog dan sosialis barat; mengungkapkan bahwa diantara kemunduran Islam pada aba modern ini diakibatkan berbagai hukum yang tidak mampu beradaptasi atau lebih halusnya tidak relepan lagi dalam kegiatan empiriknya diabad modern ini, dimana spirit globalisasi masyarakat yang mau tidak mau terus melaju jauh meninggalkan zaman batu.
Artinya hukum yang masih utuh itu, sudak tak layak pakai lagi, mereka mengira kita terlalu terbujur kaku kepada dogma dan trsdisi yang tak terbuka, menganggap kita terlalu inklusif dan terkekang hukum agama.
Dari beberapa pernyataan diatas yang cukup menggelitik ini, tentunya kita tidak bisa hanya sekedar menutup sebelah mata. Mengartikan anlisa mereka salah semua atau sebaliknya menganggap pernyataan meraka benar adanya, tentu adalah suatu presesi yang salah besar.
Kita harus mengakui ketika Afrika, timur tengah, atau Asia selatan yang dominan berpenduduk Muslim merupakan bangsa yang terbelakang dibanding Eropa dan Amerika dalam segala bidang, baik ekonomi politik, sains dan teknologi adalah kenyataan. Walaupun sering kali kita berkilah menyebut-nyebut jika Islampun (masyarakat muslim) lebih tepatnya, pernah juga mengalami kejayaanan saat masa ke-emas dahulu.
Lebih jelasnya ini adalah tantangan bagi kita sebagai pelajar yang getol bergelut dalam tatanan akadmis yang kayak Ilmu serta kajian Islam, yang mau tidak mau beberapa tahun kemudian kita akan dinanti-nantikan sebgai pucuk dan tunas Da'wah di bawah bayang-bayang globalisasi yang tak mengenal jarak dan waktu. Satu sama lain akan cepat bersinggungan baik agama, idiologi serta kultur budaya. Sebagaimana diramalkan Samuel Hutington dalam magum opusnya Clas of Civilization.
Kita memang tak bisa membendung budaya Amerika masuk ke Indonesia, bukan tak mungkin budaya Eropa masuk ke desa-desa. Hal ini merupakan sebuah keniscayaan dan kepastian yang tidak perlu kita salah-salahkan lagi, karena ini adalah produk globalisasi dalam ranah kebebasan sosio kultur dan politik yang tanggung meng-universal, dimana satu sama lain saling berebut pengaruh baik budaya, idiologi, bahkan agama, politik juga hasil produksi.
Tugas kita adalah sama-sama berjuang memajukan bangsa dan agama, tentunya melalui ilmu dan pendidikan yang cukup dan bermanfaat. Tentu kita akan dianggap bodoh dan culun jika peperangan idiologi lalu dilawan dengan senjata, kita akan dianggap primitif jika melawan Idiologi dengan otot besi, dikarenakan segala sesutau ada tempatnya, paling tidak, idiologi tentunya dengan idiologi, ilmu dengan ilmu, siasat dengan siasat dsbg
Adanya usaha untuk merevolusi Syariat dan wawasan Islam secara mebabi buta sebagaiman yang ditekan-kan oleh banyak kalangan, terutama orinetalis barat dan para pemuja moderenisasi, tak lain merupakan sebuah upaya dalam mendangkalakan pondasi ummat, sehingga ummat mearsa kebingungan dan meninggaklakn jauh-jauh tradisi dan aturan-aturan yang berhubungan dengan Islam Hingga Islam tinggalah kata, tinggalah situs yang tak berjejak sebagaiaman cita-cita mereka. Namun dilain hal, upaya mereka adalah sebagai bentuk dorongan untuk pendewasaan ummat ke arah yang lebih segar lagi agar tidak terlarut dalam tidur panjang yang melelahkan.
Maka dengan itu mari kita sama-sama merenung kembali, membangun kembali sepirit berbudaya dan beragama yang lama telah merapuh, sebagaiaman Rasulullah telah mewanti-wantikannya semenjak dahulu kala, dimana beliau menggambarakan bahwa “Ummat ini (syariat ini) bagaikan sehelai kain yang terdiri dari beberapa benang, lalu kain tersebut akan merapuh dan benangnya jatuh satu perastu”. Wallahua’lam
Read more...